Racun-Racun (Toksin) Tanaman Yang Berbahaya Bagi Hewan Dan Manusia


     Racun adalah zat yang dapat masuk kedalam tubuh dengan berbagai cara yang dapat menghambat respon pada sistem biologis sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit bahkan kematian.

            Tanaman sangat berguna bagi kebutuhan hewan yang merupakan komponen penting untuk pertumbuhan dan perkembangan hewan tersebut. Tanaman yang ada dialam sangat banyak jenisnya Meskipun demikian, beberapa jenis tanaman dapat mengandung racun yang dapat membahayakan kesehatan hewan. Hal ini karena pada tanaman yang mengandung racun tersebut  yang apabil dikonsumsi terna dapat memacu terjadinya keracunan bahkan berujung pada kematian. Racun dalam tanaman sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari tanaman tersebut untuk melawan serangan serangga ataupun predator lain.



       Karena racun yang dihasilkan tanaman merupakan salah satu untuk melawan predator, maka tidak heran bila tanaman jauh lebih rentan terhadap penyakit.

            Tumbuhan mengandung sejumlah besar zat kimia yang aktif secara biologis. Beberapa zat pada tumbuhan dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit yang menimpa ternak maupun manusia (contohnya digitoksin, kolcisin dan atropin). Untungnya, diantara ribuan tanaman yang dikomsumsi oleh ternak, relatif sedikit yang menyebabkan keracunan. Kehadiran zat kimia tertentu dalam tanaman dipercaya untuk memberi beberapa tingkat perlindungan dari predator tanaman seperti serangga dan ruminan (Widodo, 2005).

Sebagian besar racun atau anti nutrisi umumnya diperoleh dari hasil metabolisme sekunder tanaman. 

Hasil metabolisme sekunder dibagi dua berdasarkan berat molekulnya yaitu berat molekul kurang dari 100 dengan contoh pigmen pinol, antosin, alkohol, asam-asam alifatik, sterol, terpen, lilin fosfatida, inositol, asam-asam hidroksi aromatik, glikosida, fenol, alkaloid, ester dan eter. 

Metabolisme sekunder lainnya adalah yang berat molekulnya tinggi yaitu selulosa, pektin, gum, resin, karet, tannin dan lignin. 

Tanaman yang mengandung metabolit sekunder umumnya mengeluarkannya dengan cara pencucian air hujan (daun dan kulit), penguapan dari daun (contoh kamfer), ekskresi aksudat pada akar (contoh alang-alang) dan dekomposisi pada bagian tanaman itu sendiri (Widodo, 2005).


    Macam- macam senyawa beracun yang terkadung pada tanaman.


Racun dapat diidentifikasi pada tumbuhan beracun, dan kemungkinan dapat disebabkan oleh senyawa racun yang terkandung di dalam tumbuhan tersebut. Setiap jenis tumbuhan beracun mengandung zat-zat atau senyawa kimia yang berbeda-beda, namun, ada juga yang tidak. 

Sebagian besar dan berbagai macam jenis tumbuhan yang mengandung senyawa racun bersifat alami belum sepenuhnya diketahui atau belum dimanfaatkan secara mekanis. 

Beberapa tumbuhan mengandung dua atau lebih senyawa racun yang berbeda komponen kimianya satu dengan yang lainnya. Menurut Hanenson (1980), komponen-komponen kimia yang dihasilkan tumbuhan terbagi atas alkaloid, polipeptida dan asam amino, glikosida, asam oksalat, resin, phytotoxin dan mineral lainnya.

1.    Piperidin Alkaloid
Piperidin alkaloid diidentifikan dari lingkaran heterosiklik jenuh yang dimilikinya, sebagai contoh adalah inti piperidin. Senyawa terpenting dari piperidin alkaloid adalah coniin yang di jumpai pada tanaman conium maculatum atau lebih dikenal dengan nama tanaman hemlock beracun. Racun ini mudah menyebar karena mudah menguap sehingga dapat terhirup alat pernafasan. Hemlock beracun ini dapat menyebabkan kacanduan pada ternak.




2.    Indol Alkaloid
Indol alkaloid adalah turunan dari asam-asam amino triptofan yang mudah diamati oleh perbandingan kandungan inti nitrogen pada struktur zat kimia triptofan. Indol alkaloid beracun pada ternak yang paling penting adalah alkaloid ergot yang diproduksi oleh jamur parasit pada biji jenis rumput-rumputan dan biji padi-padian. Istilah ergot umumnya digunakan untuk jenis jamur Claviceps. Tiga jenis Claviceps yang utama adalah Claviceps Purpurea, Claviceps paspali, dan Claviceps cinerea. Ketiga jenis jamur Claviceps tersebut terdapat pada tanaman gandum dan beberapa rumput liar.

3.      Indolizidin alkaloid
Indolizidin alkaloid merupakan salah satu senyawa yang merupakan golongan dari alkaloid. Dalam tanaman, senyawa indolizidin alkaloid ini mempunyai sifat racun dan dapat membahayakan bagi ternak, terutama bila dikonsumsi secara berlebihan. Jenis-jenis tanaman yang mengandung indolizidin alkaloid swainsonin adalah Astragalus dan Oxytropis. Tanaman ini biasanya ditemukan di daerah Australia barat. Ternak yang biasanya mengkonsumsi tanaman ini adalah sapi, kuda dan domba, namun kadang-kadang diberikan juga pada unggas.


4.    Glukosida sianogenik
Bagi tanaman, senyawa ini diperlukan dalam mekanisme pertahanan diri terhadap predator dan dalam proses metabolism untuk membentuk protein dan karbohidrat. Umumnya senyawa tersebut disintesis dari asam amino yang merupakan homolognya. Sebagai contoh beberapa senyawa yang strukturnya hampir sama dengan asam amino prekursornya.

5.    Linamarin
Linamarin merupakan senyawa turunan dari glikosida sianogenik. System metabolism dalam tanaman meyebabkan salah satu hasil dari degradasi asam amino L-valin adalah linamarin. Linamarin terdapat dalam tanaman linum usitatissinum (linseed), phaseolus lunatus (java bean), trifolium repens (white clover), lotus spp. (lotus), dimorphoteca spp (cape marigolds) dan manihot spp. (ubi kayu). Namun linamarin diberikan karena serupa dengan yang diketemukan dalam tanaman rami (linum spp). 

6.    Lotaustralin
Lotaustralin merupakan senyawa turunan dari glikosida sianogenik. System metabolism dalam tanaman menyebabkan salah satu dari degradasi asam amino L-isoleusin adalah lotaustralin. Lotaustralin terdapat bersama linamarin dalam tanaman yang sama, tetapi berbeda jumlahnya.

7.    Asam sianida (HCN)
Lebih dari 100 jenis tanaman mempunyai kemampuan untuk memproduksi asam sianida. Jenis tanaman tersebut antara lain family rosaceae, possifloraceae, leguminosae, sapindaceae, dan graminae. Manihot utilissima sebagai salah satu tanaman yang mengandung asam sianida.




8.    Solanin
Solanin merupakan senyawa golongan glikosida yang diketahui sebagai antienzim, yaitu penghambat enzim akholinesterase. Solanin yang ditemukan pada tanaman yang tergolong dalam suku solanaceae yang kebanyakan berupa terna berbatang basah, jarang berupa semak atau pohon, atau umumnya pada kentang-kentangan, dengan spesiesnya adalah: Solanum dulcamara L, Solanum ningrum L, dan Solanum tuberosum L. 




9.    Fitoestrogen (Isoflavon dan Coumestan)
Fitoestrogen adalah estrogen tanaman. Dua senyawa yang merupakan fitoestrogen adalah isoflavon dan coumestan yaitu zat yang berasal dari kelas fenilpropanoid dan merupakan penggabungan decumarol (3.3 metyhylenebis atau 4-OH coumarin) melalui posisi ketiga. Isoflavon adalah senyawa yang dibentuk sebagai reaksi kondensasi antara gula dan gugus hidroksil dari senyawa kedua yang dapat tidak dapat merupakan gula yang lain.

10.  Anti tripsin
Anti tripsin atau inhibitor tripsin adalah senyawa penghambat kerja tripsin yang secara alami terdapat pada kedelai, lima bean (kara), gandum, ubi jalar, kentang, kecipir, kacang polong, umbi leguminosa, alfalfa, sorgum, kacang fava, beras dan ovomucoid. Kesemuanya tanaman tersebut mempunyai antitrypsin dengan protein berberat molekul rendah, keculi anti tripsin yang terdapat pada ovomucoid yang terdiri dari 75% asam amino dan 25% karbohidrat.

11. Papain
Papain adalah suatu enzim pemecah protein (enzim proteolitik) yang terdalam dalam getah papaya yang memiliki aktifitas proteolitik minimal 20 unit/gram preparat dan tergolong ke dalam senyawa oraganik komplek yang tersusun dari gugusan asam amino. Papain adalah protease sulfilhidril karena memiliki gugusan sulfilhidril (SH) pada bagian aktifnya.




12.  Lectin (Hemaglutinin)
Lektin adalah glikoprotein yang mempunyai bobot molekul 60.000-100.000 yang dikenal untuk kemampuannya menggumpalkan eritrosit. Tanaman yang mengandung lectin dijumpai dalam banyak kelompok botani meliputi monokotiledon dan dikotiledon, jamur dan lumut, tetapi yang paling banyak terdapat pada leguminoseae dan euphobiaceae. Lectin berada dalam berbagai jaringan pada tanaman yang sama dan mempunyai lokasi seluler dan sifat molekuler yang berbeda.

13.  Mimosin
Mimosin merupakan zat racun atau zat anti nutrisi yang berasal dari lamtoro atau leguminosa. Mimosin merupakan racun yang berasal dari turunan asam amino. Mimosin merupakan racun yang berasal dari turunan asam amino heterosiklik, yaitu asam amino yang mempunyai rantai karbob melingkar dengan gugus berbeda. Mimosin mempunyai gugus keton dan hidroksil pada inti pirimidinnya, yang diketahui bersifat toksik. Mimosin sering disebut leusenina, dengan rumus molekul C8H10O4N2.

14.  Latirogen
Latirogen adalah racun yang ditemukan dalam chick pea dan vetch yaitu sejenis kacang polong. Latirogen merupakan derivate asam amino yang bekerja melawan metabolism asam glutamate, sebagai neurotransmitter di otak. Ketika latirogen terkonsumsi dalam jumlah banyak oleh ternak, maka akan terjadi kelumpuhan. Penyakit yang disebabkan oleh racun latirogen dinamakan latirisme.

15.  Linatin, indospecine, dan canavanin
Bungkil biji rami (Linum Usitatissimum) mengandung sebuah zat antagonis dari piridoksin yaitu asam amino 1-amino-D-prolin. Pada bungkil biji rami, zat yang apabila dihidrolisis akan mengahasilkan dipeptida 1-amino-D-prolin dan asam glutamate dikenal sebagai linatin. 1-amino-D-prolin bereaksi dengan piridoksal fosfat membentuk hidrazona dan akan menghalangi fungsi sebagai kofaktor di metabolism asam amino. Produksi piridoksal fosfat dimasukkan pada transaminasi, dekarboksilasi dan reaksi metabolism asam amino lainnya. Gejala defisiensi piridoksal meliputi depresi nafsu makan, pertumbuhan lambat, dan konvulasi pada ayam yang mengkonsumsi bungkil biji rami. Pemanasan dan ekstraksi air serta suplementasi piridoksi pada bungkil biji rami akan menanggulangi efek antipiridoksin.

   Faktor-faktor keracunan tanaman pada ternak.


1.        Faktor Tanaman
·   Perlu mengetahui jenis-jenis tanaman yang terdapat disekitar lokasi yang memungkinkan timbulnya keracunan tanaman.
·    Beberapa bagian tertentu dari tanaman mungkin sangat toksik, sedangkan bagian lainnya tidak toksik.
·       Tanaman muda mungkin beracun, sedangkan yang dewasa tidak beracun.

2.        Faktor Hewan
·    Tanaman mungkin bersifat toksik bagi ruminansia karena metabolisme rumen, tetapi tidak toksik bagi monogastrik seperti kuda dan babi.
·   Hewan dengan kondisi buruk biasanya lebih peka terhadap keracunan daripada hewan yang diberi pakan yang baik.
·   Hewan yang kelaparan mungkin terpaksa mengkonsumsi tanaman beracun yang bersifat unpalatable.
·    Pada tempat-tempat baru (asing) dapat menyebabkan hewan tidak memilih jenis tanaman yang akan dikonsumsi oleh hewan.

3.        Faktor Lingkungan
·       Beberapa tanaman beracun akan tumbuh dengan baik pada musim tertentu.
·    Pada kondisi berawan dengan sedikit hujan akan merangsang toksisitas berbagai jenis tanaman yang mengandung cyanogenic glycoside.
·  Tanaman yang tumbuh pada tanah mengandung nitrogen tinggi sering mengandung nitrat yang tinggi.
·  Tanaman yang tumbuh pada tanah mengandung selenium tinggi dapat mengandung selenium yang bersifat toksik bagi ternak.

    Fotosensitisasi

Banyak kasus keracunan tanaman pada hewan domestik ditandai dengan fotosensitisasi. Fotosensitisasi adalah gejala dermatitis dan/atau konjungtivitis dan/atau cutaneous hyperesthesia yang berkembang pada hewan yang terpapar oleh cahaya matahari. 

Fotosensitivitas berarti peningkatan kepekaan terhadap sinar matahari secara berlebihan yang disebabkan oleh deposisi molekul yang mampu mengabsorbsi gelombang matahari pada kulit.

o   Mekanisme fotosensitisasi
Fotosensitisasi dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
1.      Setelah absorpsi radiasi sinar matahari, molekul sensitisasi mengalami perubahan panjang gelombang menjadi molekul triplet. Molekul sensitisasi triplet kemudian berinteraksi dengan molekul lain melalui hidrogen atau proses transfer elektron untuk menghasilkan radikal bebas yang sangat reaktif. Radikal bebas tersebut kemudian bereaksi dengan oksigen atau molekul lain, atau melalui transfer energi secara langsung kepada molekul oksigen yang menghasilkan oksigen tunggal dan kemudian dapat mengoksidasi substrat yang peka. Proses ini lebih sering terjadi dan porphyrin merupakan penyebab fotosensitisasi.

2.      Penyimpanan senyawa kimia fotosensitisasi umumnya terjadi pada sel endothelial dari kapiler dermis dan dalam hal tertentu adalah sel mast dermis. Beberapa senyawa aktif mungkin berikatan hanya pada membran permukaan kapiler, sedangkan lainnya diabsorbsi ke dalam sel yang akan menyimpan senyawa aktif tersebut di dalam lysosomes. Melalui absorbsi cahaya dengan penjang gelombang yang tepat oleh endothelium kapiler yang terdapat di dalam lapisan luar dermis, maka kerusakan sel umumnya terjadi melalui pelepasan enzim proteolitik dari lysosomes. Akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis sel, oklusi vaskuler dan inflamasi akut. Bila penetrasi pada epidermis oleh radiasi dicegah baik oleh ketebalan kulit, bulu penutup atau pigementasi seperti kulit hitam, maka fostosensitisasi tidak akan terjadi.

3.      Kadang-kadang fotosensitisasi harus didiferensiasi dari dermatitis (sunburn) sederhana. Dematitis sederhana tersebut merupakan reaksi normal kulit yang tidak terlindungi, tidak berpigmentasi terpapar oleh cahaya matahari, dan disebabkan oleh radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang yang pendek (320 nm).





o   Klasifikasi fotosensitisasi
Fotosensitisasi diklasifikasikan menjadi:
1.      Fotosensitisasi primer (Tipe I) – langsung dari racun tanaman.
Fotosensitisasi primer. Beberapa tanaman mengandung senyawa fluoresen yang berpotensi merangsang pigmen, setelah absorpsi dari lambung masuk ke dalam aliran darah portal, dan tidak dikeluarkan secara sempurna oleh hati, tetapi tetap berada di dalam sirkulasi peripferal dan mencapai kapiler kulit. 

Tanaman tersebut meliputi:
-  Fagopyrum esculentum (boekweit, buckweat) – mengandung pigmen helianthrone.
-      Seledri – mengandung furocoumarin.
-     Phenothiazine – berubah menjadi phenothizine sulphoxide di dalam rumen, kemudian menjadi phenothiazone di dalam hati.

2.      Fotosesitisasi sekunder atau hepatogenus (Tipe II) – akibat dari metabolit racun.

Fotosensitisasi sekunder atau hepatogenus. Kebanyakan fotosensitisasi pada hewan domestik bukan fotosensitisasi primer tetapi bersifat sekunder terhadap kerusakan hati. Banyak tanaman dapat menimbulkan kerusakan jaringan hati dan sebagai akibatnya fotosensitisasi merupakan gejala klinis dari keracunan tanaman. 

Senyawaan fotosensitisasi tersebut adalah phylloerythrin. Phylloerythrin berasal dari chlorophyll melalui proses mikroba di dalam saluran pencernaan. Pigmennya merupakan porphyrin fluorescent. 

Senyawa ini diserab kedalam darah portal dan dikeluarkan oleh hati untuk diekskresikan ke dalam empedu, yang merupakan sirkulasi enterohepatik. Salah satu gambaran kerusakan sel hati adalah ketidak mampuan dalam mengambil phylloerythrin dari darah sinusoid dan mengeluarkannya ke dalam empedu. 

Phylloerythrin yang beredar di dalam darah perifer secara tidak langsung diekskresikan melalui urin sebagai porphyrin endogenous yang mengandung berbagai kelompok hydrofilik, dan hal ini juga meningkatkan potensi fotosensitisasinya


    Tanaman- tanaman mengandung racun.


1.      Bakung (pohon bung lily)
Bakung termasuk dalam keluarga Liliaceae. Hampir semua jenis bakung adalah beracun dan tidak mudah dicerna. Tanaman jenis ini banyak tumbuh di padang penggembalaan sehingga secara tidak sengaja dapat termakan oleh ternak. 

Umbi bakung sering lebih banyak mengandung racun daripada bagian tanaman yang berada di atas tanah. Hewan yang termasuk rentan adalah sapid an babi. Babi sering terkena racun bakung karena kebiasaannya makan umbi-umbian dengan cara menggali tanah menggunakan moncongnya. 




Gejala klinis pada ternak yang keracunan bakung terlihat gejalanya bervariasi, tergantung banyaknya bakung yang dimakan. Glikosida atau alkaloid merupakan bahan pokok racun yang berakibat pada jantung dan sistem saraf. 

Bila hanya sebagian kecil yang termakan, maka akan terlihat gejala saraf. Tetapi bila sebagian besar termakan, maka yang timbul adalah gejala jantung sebelum sempat menunjukkan gejala saraf. Sapi yang keracunan sering muntah-muntah, diare, dan kemudian mati karena berhentinya fungsi jantung. Pada uji pascamati yang sering terlihat adalah gastroenteritis.

2.      Ubi Kayu (Singkong)
Ubi kayu, cassava atau singkong banyak ditanam di berbagai tempat di Indonesia. Ubi kayu banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi masyarakat, bahkan di beberapa tempat manjadi bahan makanan pokok pengganti beras. 

Daun ubi kayu bercabang seperti jari berwarna hijau tua. Daun yang muda sering dimanfaatkan sebagai sayur. Daun ubi kayu mengandung sianida yang beracun. Oleh karena itu jika akan dimanfaatkan untuk bahan sayur harus diolah dengan cara yang benar agar efek toksiknya hilang, misalnya dengan dipanaskan.Kandungan sianida pada daun ubi kayu bervariasi, tergantung pada jenisnya. 




Daun ubi kayu yang segar memiliki kandungan sianida yang cukup banyak. Cara menetralisasi kandungan sianida tersebut dapat dilakukan dengan dijemur sebelum diberikan kepada ternak

Hewan yang rentan adalah semua jenis ternak ruminansia termasuk sapi, kerbau, kambing, dan domba. Oleh karena itu daun ubi kayu yang akan diberikan kepada ternak harus dipanaskan terlebih dahulu di bawah terik matahari hingga layu untuk menetralisasi kandungan racunnya.

Gejala klinis akibat keracunan daun ubi kayu ini terutama pada sapi adalah gejala kejang-kejang, mulut keluar buih keputihan, mata menjadi juling, pernafasan sesak, denyut jantung meningkat, dan bila mengalami keracunan yang berat dapat mengakibatkan kematian.

3.      Jarak (Ricinus communis)
Tanaman ini disebut juga Palma Christi, yang dapat meracuni darah. Tanaman ini ditamukan hampir disetiap daerah tropis. Tanaman ini termasuk jenis tanaman semak yang dapat tumbuh sampai pada ketinggian 3 meter.

Tanaman ini berdaun lebar dan memiliki 3 atau 5 jari. Bunganya kecil-kecil dan berwarna kuning. Bijinya bulat ada kalanya direndam atau direbus untuk dimakan orang bagi yang biasa memakannya. 





Bila tidak ada perlakuan tertentu, biji-biji jarak ini dapat meracuni. Biji jarak ini dapat diperas dan menghasilkan minyak castro. Ampas dari biji jarak tersebut mengandung banyak substansi beracun karena mengandung toksalbumin yang disebut risin.

Gejala klinis pada sapi yang secara tidak sengaja makan pakanan yang tercampur bahan mengandung risin dapat mengalami kematian dengan gejala kejang-kejang.

4.      Kacang Tanah
Kacang tanah atau bungkil kacang tanah sebagai limbah industri sering dimanfaatkan untuk makanan penguat bagi ternak, utamanya sapi dan babi. Kacang tanah atau bungkil kacang tanah dalam situasi tertentu dapat mengakibatkan keracunan akibat dari daya kerja aflatoksin.




Dalam keadaan biasa pakan ternak dari bungkil kacang tanah ini adalah normal dan biasa diberikan, namun dalam situasi tertentu dapat menjadi racun karena kacang atau bungkil kacang tersebut telah ditumbuhi jamur Aspergillus flavus. Galur tertentu dari jamur tersebut dapat diproduksi toksin, terutama bila bungkil yang tersedia tidak betul-betul kering.

Hewan rentan terhadap racun dari jamur Aspergillus ini adalah sapi, babi, dan ayam, sedangkan domba termasuk lebih tahan. Hewan muda lebih rentan daripada hewan dewasa.

Gejala klinis akibat pengaruh dari racun jamur Aspergillus flavus pada kebanyakan hewan antara lain adalah kecepatan pertumbuhannya berkurang dan nafsu makan juga berkurang. Keracunan yang hebat dapat menyebabkan kekejangan dan kemudian hewan akan ambruk.

Pedet yang keracunan dapat mengalami tenesmus dan buta. Pengaruh paling menonjol pada sapi dewasa yang sedang laktasi adalah penurunan produksi susu.

5.      Lantana (Pohon bunga Telekan)
Lantana memiliki banyak spesies, tetapi yang paling banyak dijumpai adalah Lantana camara. Lantana termasuk jenis tanaman perdu, berbatang kasar, bercabang banyak, permukaan daun kasar dan tepi daun bergerigi. Warna mahkota beragam, antara lain merah, kuning, ungu dan putih. 

Lantana tumbuh di hampir setiap negara tropis dan dapat hidup di tanah yang sangat miskin hara, kering, tandus, dan berbatu. Lantana sering dipakai sebagai tanaman hias atau tanaman pagar halaman. Daun dan bunganya berbau langu, sehingga jika tidak terpaksa ternak tidak akan menyukainya.




Hewan yang rentan dan sering mengalami keracunan lantana adalah sapi, terutama pada saat musim kering karena sulit menemukan tanaman hijauan lain di padang penggembalaan kecuali tanaman lantana. Sapi Bali, Brahman cross, dan sapi Brahman sangat rentan terhadap racun tanaman lantana ini.

Gejala klinis pada sapi yang keracunan lantana antara lain adalah jaundice yang berat, fotosensitisasi, dermatitis nekrotik berat terutama di bagian tubuh yang paling banyak terkena sinar matahari atau berwarna lebih pucat seperti pada cuping telinga, ponok, bagian atas moncong dan punggung. 

Ternak kehilangan nafsu makan, diare, gelisah, ambruk, dan akhirnya mati dalam beberapa hari dengan kondisi tubuh yang sangat kurus. Apabila makan tanaman lantana dalam jumlah banyak, maka sapi akan mati karena gastroenteritis sebelum terjadi fotosensitisasi.

6.      Ageratum conyzoides (babadotan)
Ageratum conyzoides (babadotan) merupakan tanaman perdu yang tumbuh di daerah basah dan berawa. Babadotan termasuk ke dalam famili Asteraceae yang banyak dijumpai diberbagai daerah di Indonesia. 




Secara umum babadotan memiliki rasa pahit dan mengeluarkan aroma yang kurang sedap sehingga tanaman ini kurang diminati oleh ternak. Keracunan dapat terjadi bila ternak dalam keadaan lapar terutama setelah melalui perjalanan jauh dan ternak digembalakan pada lokasi yang baru yang tidak memiliki pakan hijauan yang cukup.

Toksisitas - Keracunan tanaman babadotan pernah terjadi di Sumatera Utara pada sejumlah sapi yang baru didatangkan dari luar propinsi (Stoltz dan Murdiati, 1986). 

Sejumlah sapi ditemukan mati setelah mengkonsumsi hijauan yang tersedia di lokasi penampungan. Sirosis hati merupakan kelainan patologis utama yang dijumpai pada hamper seluruh sapi yang mati. 

Sementara itu Ageratum conyzoides dijumpai banyak tumbuh pada lokasi penampungan sapi tersebut dan diduga merupakan salah satu penyebab keracunan pada ternak disamping tanaman lainnya. 

Sani dan Stoltz (1993) melaporkan bahwa perubahan jaringan hati merupakan kelainan patologis yang konsisten ditemukan pada tikus percobaan yang diberi pakan babadotan sebesar 10 – 30%. Perubahan histopatologis yang umum ditemukan pada keracunan babadotan ini terdiri dari anisokariosis sel hati, megalositosis dan proliferasi sel saluran empedu (Sani dan Stoltz, 1993; Sani dan Bahri, 1994).

Analisis kandungan senyawa toksik dari tanaman ini yang dapat menimbulkan kerusakan hati belum pernah dilaporkan. Röder dan wiedenfeld (1991) mencoba untuk mengidentifikasi senyawa toksik daun babadotan secara kimiawi dan melaporkan bahwa babadotan mengandung senyawa pyrrolizidin alkaloid dengan struktur kimia berupa lycopsamin dan echinatin yang bersifat toksik terhadap serangga Lepidoptera.

7.      Lantana camara (tahi ayam, tai kotok)
Lantana camara (lihat gambar) merupakan tanaman perdu yang berasal dari daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mengeluarkan bau khas, tumbuh tegak dan memanjat, banyak cabang, tinggi berkisar antara ¼ - 4 m. Daun sederhana dengan bagian tepi bergerigi. 

Bunga terdiri dari berbagai jenis warna antara lain putih, merah, kuning, orange, biru, ungu atau warna gabungan (intermediat). Lantana dibagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan warna bunganya, yaitu bunga pink dan bunga merah.  Warna merah merupakan tanaman yang paling toksik dibanding warna lainnya, kemudian diikuti dengan warna pink. 




Secara umum dalam masa pertumbuhannya, tipe bunga merah atau bunga pink yang berubah menjadi merah dianggap paling toksik. Sedangkan putih - pink atau kuning - pink memiliki toksisitas yang rendah.

Senyawa toksin dari lantana adalah asam triterpenoid yang lebih dikenal sebagai lantadene A, atau disebut juga rehmannic acid. Dosis toksik secara oral dari lantadene A pada domba sebesar 60 mg/kg dan secara intravenous sebesar 4 mg/kg. Daun merupakan sumber utama toksin lantadene A ini, sedangkan bunga, buah dan akar mengandung toksin yang sangat rendah dan tidak menimbulkan kelainan hepatik dan bilirubin pada marmot.




Gejala klinis – Keracunan lantana terjadi secara alami terutama pada sapi, tetapi domba dan kambing juga peka terhadap tanaman ini. Lantana terlihat palatable bagi beberapa ekor sapi, tetapi tidak untuk yang lain. Keracunan biasanya terjadi bila hewan dipindahkan ketempat yang baru pada saat musim hujan atau pada musim dimana pakan hijauan sulit didapat.

Pada keracunan akut, gejala klinis akan muncul beberapa jam setelah makan tanaman ini yang dimulai dengan depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan motilitas rumen, dan konstipasi parah. 

Dua – 3 hari kemudian diikuti dengan gejala icterus, dan pada beberapa kasus, terjadi kelainan kulit akibat fostosensitisasi hepatogenous yang diakhiri dengan terkelupasnya epitelium dan membran mukosa.  Telinga terlihat membengkak, berat dan panas serta tampak terkulai. Kematian dapat terjadi 2 hari setelah intoksikasi parah, yang biasanya akibat kombinasi dari penyakit hati dan kegagalan ginjal. Pada sapi bali penyakit ini di kenal dengan bali ziekte.

Keracunan kronis berkembang dalam beberapa minggu dan ditandai dengan gejala fotosensitisasi. Terlihat adanya keretakan dan deskuamasi kulit yang diikuti dengan gatal, peradangan sclera, perubahan pada cornea, dan peningkatan sensitivitas mata terhadap cahaya terang.

Patologi – Makroskopis, cholestatis merupakan perubahan patologis yang menonjol dalam keracunan lantadene. Hati terlihat membengkak, bewarna orange akibat warna dari cairan empedu dan distensio kantong empedu.  

Ginjal juga membengkak, dan kemungkinan terjadinya perirenal oedema. Mikroskopis, terlihat periportal degenrasi hati, portal fibrosis, hiperplasi sel pembuluh empedu dan centrolobular hepatic necrosis. Pembengkakan hepatocytes dan berisi muliple nuclei. 

Oedema dinding kantong empedu dan tubular necrosis dengan protein cast di dalam ginjal, terdapat myocardial degenerasi dan fibrosis serta kongesti dan oedema pulmonum.

Pengobatan – Pencegahan absorbsi toksin oleh saluran pecernaan dapat membantu dalam pengobatan penyakit. Keluarkan toksin dari rumen dengan menggunakan arang aktif atau bentonit. 

Perawatan pendukung dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, dan glukosa. Sodium thiosulfat 0,5 g/kg BB.IV., digunakan sebagai antidota. Basmi lantana dengan menggunakan herbisida atau kontrol biologi.

8.      Panicum maximum (Rumput benggala)
Panicum spp merupakan rumput tahunan yang tumbuh dengan cepat. Tanaman ini berbentuk rerumpunan yang sangat besar dan memiliki akar serabut yang dapat tumbuh jauh ke dalam tanah; batang tegak, tidak berbulu dengan tinggi mencapai 1 – 2,5 m. 

Daun berjumlah banyak, lancip, panjang mencapai 40 – 105cm dan lebar 10 – 30mm. Banyak dijumpai di pulau Jawa. Selain kemungkinannya mengandung sianogenik glikosida, nitrat atau oksalat, Panicum spp dapat menimbulkan fotosensitisasi hepatogenous pada ternak yang digembalakan di lapangan. Anak domba sangat peka terhadap rumput ini. 




Toksisitas - Panicum spp dikenal sebagai penyebab fotosensitisasi di Australia dan Afrika Selatan serta Amerika Utara dan Selatan. Tanaman ini (P. coloratum pada gambar diatas) juga telah dikembangkan sebagai hijauan pakan ternak di Texas. 

Fotosensitisasi sering ditemukan pada anak domba dan dalam jumlah yang lebih kecil terjadi pada domba dewasa, kambing Angora dan kuda. Sementara itu belum ada laporan kejadian fotosensitisasi akibat rumput ini pada sapi (Dollahite et al., 1977; Muchiri et al., 1980).

Fotosensitisasi dikaitkan dengan saponin seperti dichotomin. Berbagai spesies terlihat mampu menimbulkan kelainan hati dan kulit akibat konsumsi P. coloratum, P. dichotomiflorum dan P. maximum di Amerika Utara dan Afrika Selatan serta P. miliaceum dan P. maximum di Australia dan Amerika Selatan Bedotti et al., 1991). 

Rumput ini juga mengandung saponin yang terdiri dari furostanol dan spirostanol yang terdiri dari diosgenin dan/atau yamogenin. Kristal yang khas di dalam saluran empedu berupa garam kalsium dari saponin, tetapi dengan struktur yang berbeda dari saponin utama dalam tanaman, dan kemungkinan berupa epismilagenin. 

Saponin bereaksi dengan kalsium dan mengalami presipitasi sebagai garam kalsium insoluble di dalam saluran empedu. Presipitat tersebut adalah garam kalsium dari epismilagenin β-D-glucuronide (Miles et al., 1992).

Toksisitas ditandai dengan kristal saponin empedu yang berbentuk kristal, dapat dilarutkan melalui fiksasi dengan alkohol dan membentuk cleft artefak. Derajat kerusakan hati bervariasi dari yang ringan hingga moderat tetapi bersifat reversibel bila hewan dijauhkan dari lapang penggembalaan yang berisi Panicum spp untuk gejala klinis pertama.

Gejala klinis - Gejala klinis berkaitan terutama dengan nekrosis jaringan disekitar kapiler kulit dimana sinar UV berpenetrasi. Perubahan kulit terjadi dengan cepat antara 1 – 2 hari atau secara bertahap dalam seminggu. 

Pada domba, kebanyakan lesio terjadi pada bagian kepala yang meliputi pembengkakan dengan kerontokan bulu dan terkelupasnya kulit pada bagian ujung telinga, kelopak mata, sekitar mata, dekat bibir dan hidung, dan dibawah dagu (jaw). 

Dapat juga dijumpai kemerahan pada coronary bands, kepincangan, ikterus ringan dan depresi. Pada kuda terlihat kehilangan nafsu makan yang kronis dan kehilangan berat badan. Sekali-sekali dijumpai pula hepatoencephalopathy dengan kepala lebih rendah dan sifat yang galak secara periodik.

Patologi – Secara makroskopis, perubahan patologis terbatas pada kulit sebagaimana dibahas diatas. Secara mikroskopis terlihat nekrosis ringan pada proximal convoluted tubules ginjal, focal myocarditis dan haemorrhagi jantung, dan lebih lanjut terjadi degenerasi pada hati. 

Pada hati terlihat pembengkakan dan nekrosis sel hati, peradangan saluran empedu, dan banyak kristal-kristal seperti jarum atau cleft pada saluran empedu kecil, bile canaliculi dan sel Kupffer. Secara morfologis, kristal tersebut merupakan bagian dari kolesterol.

Pengobatan – Gejala fotosensitisasi dapat menghilang segera bila hewan saki dipisahkan dari lapang penggembalaan yang berisi rumput Panicum spp. Tempatkan hewan pada tempat yang teduh atau hindari dari sinar matahari dapat mengurangi gejala dermatitis dan pruritis. 

Tidak banyak terdapat pengobatan untuk kerusakan hati selain dengan perawatan umum yang baik. Manajemen yang baik untuk menghindari penggembalaan anak domba pada Panicum sp dapat meminimalkan fotosensitisasi.

9.      Persea americana (Alpokat)
Alpokat adalah tanaman asli dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang saat ini telah dibudidayakan secara ekstensif di berbagai negara, khususnya daerah tropis hingga subtropis. 




Terdapat tiga varietas utama dari alpokat yaitu Guatemalan, Mexican dan West Indian yang meliputi berbagai strain alpokat. Dari tiga varietas tersebut, hanya varietas Guatemalan yang bersifat toksik. Semua bagian dari tanaman tersebut bersifat toksik bila dimakan oleh ternak. Biji alpokat khususnya sangat toksik bagi babi.

Toksisitas – Konsumsi daun alpokat var. Guatemalan dapat mempengaruhi kesehatan hewan yang sedang dalam masa laktasi dengan menimbulkan gejala non-infectious agalactia dan mastitis. 

Dalam suatu wabah keracunan daun alpokat pada kambing, kelenjar ambing terlihat oedematous dan susu mengalami pengerasan. Pergerakan saluran pencernaan mengalami penurunan dan terlihat anasarca yang ekstensif meliputi leher dan dada. Sementara itu konsumsi daun alpokat oleh kuda dapat menimbulkan anasarka pada kepala dan leher yang sangat sakit sekali.

Dari awal tahun 1900an, alpokat diduga bersifat toksik. Pada tahun 1980an diketahui bahwa hanya varietas Guatemalan dan hibridanya yang memperlihatkan toksisitas. 

Meskipun seluruh bagian tanaman tersebut bersifat toksik bagi ternak, daun merupakan sumber toksisitas utama dari tanaman ini. Toxin alpokat memiliki predisposisi khusus untuk mempengaruhi kelenjar susu yang sedang laktasi. Kambing kelihatan sangat peka terhadap toksin alpokat. 

Pada hewan laktasi efek utama dari dosis rendah daun tanaman adalah non-infecious mastitis dengan kehilangan produksi susu yang nyata (Craigmill et al., 1984; 1989). Mastitis juga dijumpai pada mencit yang diberi diet daun alpokat dengan dosis yang tepat (Sani et al., 1994). Pada hewan non-laktasi atau pada dosis yang lebih tinggi, pengaruh lain seperti cardiomyopathy menjadi lebih dominan dalam keracunan daun alpokat (Sani et al., 1991).

Nekrosis kelenjar susu dan nekrosis myocardium disebabkan oleh R-enantiomer dari persin, suatu rantai panjang, senyawa unsaturated yang telah diisolasi dari daun alpokat (Oerlichs et al., 1995). 

Moderat dosis oral dari persin kepada mencit (60 – 100 mg/kg bb) menimbulkan nekrosis kelenjar susu dalam beberapa jam saja. Pada dosis yang lebih tinggi maka nekrosis myocardium akan muncul.

Gejala klinis – Mastitis terjadi dalam 24 jam setelah diberi daun alpokat, yang terlihat berupa pengerasan dan pembengkakan kelenjar ambing; sekitar 75% penurunan produksi susu; susu terlihat berair, keras dan seperti keju. 

Bila dosis ditingkatkan akan terlihat oedema subcutaneous dari leher hingga dada, batuk, lemah/depresi, malas bergerak, kesulitan bernapas dan cardiac arythmias. Serum enzim hepatic seperti LDH, CK dan AST meningkat.

Patologi – Secara makroskopis, kelenjar susu terlihat oedematous dan hyperemia, dengan bekuan di dalam saluran besar. Pada beberapa hewan, oedema sangat jelas terlihat diberbagai jaringan terutama subkutis dan paru-paru. 

Kongesti umum terjadi pada paru-paru, hati dan limpa; cairan di dalam kantong jantung (hydropericardium), thorax dan abdomen; oedema pada kantung empedu dan jaringan perirenal. Jantung terlihat pucat dan lemah. 

Secara mikroskopis terlihat oedema kelenjar ambing dan degenerasi dan nekrosis pada epithelium acinar secretory. Jantung mengalami interstitial oedema dan degenerasi myocardial.

Racun-Racun (Toksin) Tanaman Yang Berbahaya Bagi Hewan Dan Manusia Racun-Racun (Toksin) Tanaman Yang Berbahaya Bagi Hewan Dan Manusia Reviewed by kangmaruf on 12:18 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.