Sinkronisasi Estrus dengan Akupuntur Pada Kambing
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam rangka meneruskan keturunan suatu
individu, secara alamiah diperlukan suatu proses perkawinan dimana jantan dan
betina mutlak diperlukan. Jantan akan menghasilkan sel kelamin jantan
(spermatozoa) dan betina akan menghasilkan sel kelamin betina (ovum). Pada
hewan menyusui, proses pembuahan dan perkembangan selanjutnya terjadi di dalam
tubuh induk sampai proses kelahiran (Boediono, 1995). Karena perkawinan
dilakukan secara alami terkadang menghasilkan anak yang berkualitas kurang
baik. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi anak dengan kualitas baik
maka diciptakanlah teknologi reproduksi salah satunya adalah superovulasi.
Superovulasi merupakan teknik yang dapat
meningkatkan jumlah ovulasi dengan cara memperbanyak jumlah follikelnya melalui
penyuntikan preparat hormon FSH (Folikel
Stimulating Hormon) / LH (Luteinizing
Hormon) atau penyuntikan hormon GnRH (Gonadotropin
Releasing Hormon) atau kombinasi PMSG (Pregnant
Mere’s Serum Gonadotropin) dan HCG (Human
Chorionic Gonadotropin). Respon superovulasi dari hewan betina berbeda –
beda menurut jenis, bangsa, berat hidup, fase siklus birahi, umur, interval
post-partum, musim, dan tingkatan makanan.
Ternak kambing memiliki prospek ekonomi
cukup baik, mengingat peluang pasarnya yang besar. Agroekonomi di Provinsi Bali
masih memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan kambing. Kambing
bisa diberdayakan terintegrasi dengan tanaman industri dan dikembangkan
didaerah marginal. Dari aspek reproduksi, usaha peternakan kambing di
masyarakat masih perlu ditingkatkan dengan cara memperbanyak interval beranak,
meningkatkan calving interval, dan bobot lahir.
Apabila menilik dari aplikasi
superovulasi dengan preparat hormon yang dihubungkan dengan kemampuan ekonomi
peternak kambing maka dapat disimpulkan biaya yang akan dikeluarkan oleh
peternak akan sangat tinggi karena mahalnya harga dari preparat hormon itu
sendiri. Karena sebab itulah beberapa peneliti telah mengembangkan teknik
superovulasi terbaru yang dinilai lebih murah namun masih menghasilkan anakan
kambing yang tidak kalah berkualitas dengan penggunaan preparat hormon. Teknik
itu dinamakan teknik laserpunktur. Laserpunktur adalah teknik stimulasi pada
titik – titik akupuntur dengan menggunakan laser sebagai alat yang mempunyai
efek stimulatorik. Sinar laser
dijadikan alternatif untuk stimulasi dalam akupunktur, antara lain karena sinar laser
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : 1)
Koheren (mempunyai gelombang yang sama), 2) Monochromatik (berkas cahaya yang keluar hanya memiliki satu panjang gelombang), 3) Paralel (berkas cahaya yang dihasilkan mendekati sejajar, sehingga daya jangkaunya
lebih jauh) dan 4) Brightness (berkas cahaya
yang keluar memiliki tingkat kecerahan yang
tinggi). Dengan sifat-sifat tersebut, maka daya
stimulasi sinar laser terhadap sel-sel pada titik akupunktur
menjadi kuat (Herdis, 2010).
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa
yang dimaksud dengan teknologi superovulasi ?
1.2.2 Apa
saja yang termasuk dalam preparat teknologi superovulasi ?
1.2.3 Bagaimana
aplikasi teknologi superovulasi ?
1.2.4 Bagaimana
aplikasi dan perbandingan hasil antara teknik laserpunktur dengan preparat
hormon pada superovulasi kambing PE ?
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Untuk
mengetahui pengertian teknologi superovulasi
1.3.2 Untuk
mengetahui preparat yang digunakan dalam teknologi superovulasi
1.3.3 Untuk
mengetahui aplikasi teknologi superovulasi
1.3.4 Dapat
mengetahui dan membandingkan hasil antara teknik laserpunktur dengan preparat
hormon pada superovulasi kambing PE
1.4 Manfaat penulisan
Penulisan paper ini bermanfaat untuk
memberikan informasi kepada pembaca tentang teknik laserpunktur untuk
superovulasi pada kambing PE yang lebih murah dan menghasilkan kualitas anak
unggul.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian teknologi
superovulasi
Kambing
jantan dapat menghasilkan beberapa juta sampai miliyar sel sperma setiap
harinya sebaliknya kambing betina hanya menghasilkan sedikit sel telur pada
setiap estrus. Oleh karena itu dikembangkanlah teknologi reproduksi yaitu
superovulasi yang dapat menghasilkan banyak sel telur (ovum) dan mampu menggertak
pematangan folikel dan terjadinya ovulasi.
Secara
umum, superovulasi merupakan teknik yang dapat meningkatkan jumlah ovulasi
dengan cara memperbanyak jumlah follikelnya melalui penyuntikan preparat hormon
FSH (Folikel Stimulating Hormon) / LH
(Luteinizing Hormon) atau kombinasi
PMSG (Pregnant Mere’s Serum Gonadotropin)
dan HCG (Human Chorionic Gonadotropin).
Dari superovulasi inilah betina dewasa dapat menghasilkan 20 sampai 100 ova
pada satu estrua (Toelihere, 1979). Penyuntikan preparat hormon dilakukan pada
hari ke- 8 setelah birahi kemudian diikuti pemberian PGF 2α 2 – 3 hari kemudian
atau tanpa PGF 2α pada hari ke 16 – 20 (Guntoro, 1999).
Respon
superovulatoris hewan betina tergantung jenis, bangsa, berat hidup, fase siklus
birahi, umur, interval post-partum, musim, dan tingkatan makanan. Jumlah sel
telur (ovum) yang dihasilkan tergantung potensi hormon yang dipakai,
perbandingan FSH : LH, frekuensi penyuntikan, dan dosis hormon (Toelihere,
1979). Sampai saat ini, terdapat 2 jenis hormon gonadotropin yang paling sering
digunakan untuk tujuan superovulasi yaitu PMSG atau FSH. Namun dalam
aplikasinya, penggunaan PMSG atau FSH dirasakan terlalu mahal dan kurang
praktis. Disamping itu, penggunaan PMSG dapat memberikan efek samping yang
kurang menguntungkan antara lain timbulnya unovulated follicel (Guntoro, 1999)
dan pada dosis yang terlalu tinggi dapat menimbulkan stimulasi ovarium yang
berkepanjangan sehingga dapat terjadi sistik folikel (Beatrice, 2011) sedangkan
pada penggunaan FSH harus diberikan secara berulang-ulang sehingga rawan
menyebabkan ternak kambing menjadi stress dan dapat menutunkan kualitas embrio
meskipun dari sisi keuntungannya FSH dapat menghasilkan jumlah jumlah folikel
yang lebih banyak dan sedikit folikel yang anovulasi (Siregar, 2011).
2.2 Preparat teknologi superovulasi
Preparat
yang umum digunakan untuk superovulasi adalah
1) FSH
Folikel
Stimulating Hormon merupakan hormon yang dihasilkan dari adenohypofise
(anterior pituitary). FSH merupakan hormon yang dapat menstimulir perkembangan
folikel. FSH memiliki kandungan asam sialat rendah. Pada aplikasi untuk
superovulasi FSH diberikan dengan dosis ganda (4-5 hari dengan jumlah dosis
28-50 mg).
2) LH
Luteinizing
Hormon juga merupakan hormon yang dihasilkan dari adenohypofise (anterior pituitary).
Adapun fungsi hormon ini adalah untuk membantu ovulasi dan pembentukan corpus
luteum. Pada aplikasinya, LH jarang
diberikan karena LH endogen masih cukup untuk membantu ovulasi.
3) PMSG
PMSG
merupakan hormon yang dihasilkan dari placenta pada kuda bunting. Hormon ini
bersifat FSH-like karena dominan aktivitas hormon PMSG mirip dengan FSH dan
sedikit LH. PMSG memiliki kandungan asam sialat yang lebih tinggi dan memiliki
waktu paruh yang lebih lama sekitar 5-6 hari. Pada aplikasinya, PMSG diberikan
pada dosis tunggal (1500-3000 IU).
4) HCG
Berbeda
dengan PMSG, HCG adalah hormon yang dihasilkan dari plasenta wanita hamil.
Hormon ini lebih bersifat LH-like karena dominan aktivitas hormon HCG mirip
dengan LH dan sedikit FSH. Pada aplikasinya, hormon HCG diberikan pada awal
estrus setelah pemberian PMSG atau FSH untuk induksi estrus dengan dosis 2500
IU
5) hMG
hMG
merupakan gonadotropin yang dihasilkan dari wanita menopause sehingga mudah
diperoleh. Berbeda dengan PMSG ataupun HCG, hMG lebih bersifat seimbang antara
pengaruh sifat FSH dan LH nya sehingga kemungkinan lebih kecil terjadinya
proses sistik ovari atau sistik folikel serta dapat dipakai sebagai preparat
hormon dalam menginduksisuperovulasi (Beatrice, 2011). Pada aplikasinya, hMG
diberikan pada awal estrus setelah PMSG atau FSH dengan dosis 2000 IU.
Pada
pengaplikasian teknologi superovulasi dengan preparat hormon umumnya diikuti
atau tidak diikuti dengan pemberian PGF 2α. Apabila diikuti msks pemberian PGF
2α dilakukan pada 2 -3 hari setelah pemberian preparat hormon.
2.3 Protokol teknologi superovulasi
a)
Kombinasi FSH, LH/hCG/hMG lalu PGF 2α (estrus diketahui, PGF 2α à tunggal)
|
|
| | | | |
0 8 9
10 11 12 19/20
Estrus
diketahui pada hari ke 0 kemudian pada hari ke 8 dilakukan penyuntikan FSH
pagi,sore). Pada hari ke 9 penyuntikan FSH disertai penyuntikan PGF 2α. Pada
hari ke 10 dan 11 dilakukan penyuntikan FSH. Pada hari ke 12 penyuntikan FSH,
donor estrus, dan (penyuntikan LH saat onset of estrus dengan dosis 2500 IU
lalu melakukan inseminasi donor. Pada hari ke 19/20 melakukan koleksi embrio
(7-8 hari setelah inseminasi).
b)
Kombinasi FSH, LH/hCG/hMG lalu PGF 2α (estrus tidak diketahui, PGF 2α Ã
ganda)
| | |
| | |
| |
(x ?)
0 8
9 10 11 12 19/20
Hari
ke x adalah penyuntikan PGF 2α pertama.
Hari ke 0 ditentukan sebagai estrus awal (2-3 hari setelah penyuntikan PGF 2α
pertama) kemudian pada hari ke 8 dilakukan penyuntikan FSH (pagi,sore). Pada
hari ke 9 penyuntikan FSH disertai penyuntikan PGF 2α kedua. Pada hari ke 10
dan 11 dilakukan penyuntikan FSH. Pada hari ke 12 penyuntikan FSH, donor
estrus, dan penyuntikan LH saat onset of estrus dengan dosis 2500 IU lalu
melakukan inseminasi donor. Pada hari ke 19/20 melakukan koleksi embrio (7-8
hari setelah inseminasi).
c)
Kombinasi FSH, LH/hCG/hMG lalu PGF 2α (estrus diketahui, tanpa PGF 2α)
| | | |
| | | |
0 16
17 18 19
20 E 7/8
Estrus
diketahui pada hari ke 0 (2-3 hari setelah penyuntikan PGF 2α pertama) kemudian
pada hari ke 16 sampai 20 dilakukan penyuntikan FSH (pagi,sore). Pada saat
estrus (E) penyuntikan LH lalu melakukan inseminasi donor. Pada hari ke 7/8
melakukan koleksi embrio (7-8 hari setelah inseminasi).
d)
Kombinasi PMSG, LH/hCG/hMG lalu PGF 2α (estrus diketahui, PGF 2α Ã
tunggal)
| | | | |
0 8-12 10-14 12-16 19-23
Estrus
diketahui pada hari ke 0 kemudian antara hari 8-12 dilakukan penyuntikan PMSG.
Pada hari ke 10-14 dilakukan penyuntikan PGF 2α
dua hari setelah PMSG. Pada hari 12-16 dimana saat munculnya estrus
dilakukan penyuntikan LH dan inseminasi. Pada hari ke 19/23 melakukan koleksi
embrio (7 hari setelah inseminasi).
e)
Kombinasi PMSG, LH/hCG/hMG lalu PGF 2α (estrus tidak diketahui, PGF 2α Ã
ganda)
| | | | | |
x 0 8-12 10-14 12-16 19-23
Hari
ke x adalah penyuntikan PGF 2α pertama.
Hari ke 0 ditentukan sebagai estrus awal (2 hari setelah penyuntikan PGF 2α
pertama) kemudian antara hari ke 8-12 dilakukan penyuntikan PMSG. Pada hari ke
10-14 saat munculnya penyuntikan PGF 2α kedua. Pada hari ke 12-16 saat munculnya
estrus 2 hari setelah PGF 2α maka dilakukan penyuntikan LH dan inseminasi. Pada
hari ke 19/23 melakukan koleksi embrio (7 hari setelah inseminasi).
f) Kombinasi PMSG, LH/hCG/hMG lalu PGF 2α (estrus
diketahui, tanpa PGF 2α)
| | | |
0
16-20 21(E)
7-8
Estrus
diketahui pada hari ke 0 kemudian antara hari 16-20 dilakukan penyuntikan PMSG.
Pada hari ke 21 saat munculnya tanda estrus dilakukan penyuntikan LH dan
inseminasi. Pada hari ke 7-8 melakukan koleksi embrio (7-8 hari setelah
inseminasi).
BAB III
STUDI KASUS
SUPEROVULASI
PADA KAMBING DENGAN TEKNIK LASERPUNKTUR
Ternak
kambing di Indonesia masih memimliki prospek ekonomi yang masih tinggi yang
didukung dengan sumber daya alam dan kondisi lingkungan yang memadai. Oleh
sebab itu, banyak peneliti mengembangkan teknologi reproduksi untuk
meningkatkan kualitas produksi ternak kambing antara lain dengan memperpendek
interval beranak, meningkatkan jumlah anak per kelahiran (Calving interval), serta bobot lahir yang nantinya mampu memenuhi
kebutuhan pasar domestik maupun luar negeri. Salah satu teknologi yang
digunakan adalah superovulasi. Pada awalnya, aplikasi teknologi superovulasi
melalui penyuntikan preparat hormon gonadotropin seperti FSH/LH atau PMSG/HCG
yang diikuti dengan pemberian PGF 2α. Namun dalam aplikasinya, penggunaan
preparat hormon dirasakan masih terlalu mahal bagi para peternak mengingat
kebanyakan peternak kambing masih beternak secara tradisional. Selain itu,
penggunaan PMSG dapat memberikan efek samping yang kurang menguntungkan antara
lain dengan timbulnya unovulated follicel.
3.1 Persyaratan Ternak Kambing
- Kambing betina telah berumur 10 –
12 bulan
- Dalam keadaan sehat
- Tidak dalam keadaan bunting
- tidak dalam keadaan birahi
3.2 Aplikasi Teknik Laserpunktur
pada Ternak Kambing
Dalam
menentukan lokasi laserpunktur, harus diketahui terlebih dahulu titik – titik
akupuntur yang terdiri dari 22 buah meliputi :
a) 5
buah titik antara processus spinosus vertebrae lumbalis 1 – 6.
b) 10
buah titik antara processus transversus vertebrae lumbalis 5 ke kiri - 5 ke kanan.
c) 4
buah titik di depan dan di belakang (2 di kiri – 2 di kanan) os. pubis
d) 1
buah titik di pangkal ekor
e) 2
buah titik si kiri kanan pertengahan vulva.
Gambar 1. Lokasi titik – titik akupuntur
Setelah
mengetahui titik acuan, hal yang harus dilakukan adalah :
a) Membawa
kambing betina ditempat datar dan teduh (bila memungkinkan bisa dilakukan
didalam kandang)
b) Salah
seorang operator mengempit leher kambing dengan duo bush kaki dan kepala
menghadap ke ekor.
c) Operator
lainnya memberikan perlakuan laserpuktur dengan menempelkan ujung tabung pada
titik laserpunktur. Untuk daya dari alat laserpunktur adalah 5 mW sampai 30 mW
(Herdis, 2010).
d) Setiap
titik diberikan perlakuan selama 5 detik, sehingga keseluruhan memerlukan waktu
22 x 5 detik = 110 detik (± 2 menit).
e) Perlakuan
serupa diulang pada hari ke – 2.
f) Setelah
itu dilakukan deteksi/pengamatan berahi yang dilakukan mulai 15 – 20 jam
semenjak diberi perlakuan teknik laserpunktur. Pada hari ketiga kambing
biasanya kambing sudah menunjukkan tanda berahi seperti vulva bengkak, berwarna
merah, dan mengeluarkan lendir serta kambing gelisah.
g) Bila
birahi muncul pada sore/malam hari maka kambing dikawinkan pada pagi atau siang
hari. Dan bila birahi muncul pada pagi hari maka kambing dikawinkan pada siang
atau sore hari. Setelah itu, barulah kambing dikawinkan dengan teknik
inseminasi buatan (IB).
h) Parameter
yang diamati meliputi respon birahi, waktu birahi konsentrasi hormon estrogen
dan progesteron dalam darah, serta angka konsepsi setelah IB.
Gambar 2. Aplikasi teknik laserpunktur
Dari
aplikasi laserpunktur pada 22 titik tersebut terbukti dapat meningkatkan kadar
progesteron secara nyata dalam darah yakni 3,12 – 4,94 µg/ml. Untuk mengetahui
profil hormon progesteron dan estrogen dalam darah maka sampel darah diambil
sebelum dilakukan laserpunktur dan sehari setelah dilakukan laserpunktur. Konsentrasi
progesteron yang tinggi pada hari ke 3 – 11 pada siklus birahi menunjukkan
kemungkinan timbulnya corpus luteum lebih dari 1 (Guntoro, 1999). Selain itu,
penggunaan laserpunktur untuk gertak birahi juga memberikan kecepatan respon
yang tidak kalah dengan penggunaan hormon dimana pada penggunaan hormon PGF 2α,
kambing baru memberikan respon berahi 3 – 4 hari setelah perlakuan. Namun pada
stimulasi sinar laser akan menunjukkan respon berahi 1 – 2 hari setelah
perlakuan. Dengan perlakuan gertak birahi dan superovulasi yang bisa dilaksanakan
secara bersamaan, maka aplikasi laserpunktur akan lebih praktis dan hemat waktu
dibandingkan dengan penggunaan hormon. Dengan biaya yang lebih murah,
diharapkan teknologi ini akan dapat diaplikasikan di masyarakat.
3.3 Tingkat kebuntingan
Kebuntingan
diketahui paling cepat setelah 1 siklus berahi atau 19 – 21 hari semenjak
kambing dikawinkan. Diatas umur satu bulan kebuntingan bisa dibuktikan antara
lain dengan palpasi rahim atau mengamati penampilan luar. Semakin tua umur
kebuntingan, gejalanya akan semakin jelas. Berdasarkan pemeriksaan kebuntingan,
pada hari ke 30, 40, dan 60 setelah dilakukan sekali perkawinan maka pada
kambing perlakuan diperoleh angka kebuntingan (conception rate) 81,25% sedangkan pada kontrol (kawin alami)
menghasilkan angka kebuntingan 68,75% untuk setiap kali perkawinan. Tingginya
tingkat kebuntingan dengan perlakuan seperti laserpunktur juga disebabkan oleh
waktu perkawinan yang tepat dan kualitas pakan yang bermutu.
3.4 Litter size
Jumlah
anak per kelahiran (litter size) bisa
dijadikan tolok ukur tingkat keberhasilan superovulasi. Berdasarkan jumlah anak
yang dilahirkan. Diperoleh litter size rata-rata untuk perlakuan 2,56 ekor
dengan kisaran 2-5 ekor, sedangkan untuk kambing kontrol rata-rata 1,62 ekor
dengan kisaran 1-3 ekor.
Tabel
1. Pengaruh laserpunktur dan IB terhadap penampilan reproduksi
No
|
Penampilan
reproduksi
|
Perlakuan
|
Kontrol
|
1
|
Respon
berahi
|
100
%
|
95
%
|
2
|
Jarak
awal berahi antar individu terpanjang
|
1
hari
|
18
hari
|
3
|
Tingkat
kebuntingan
|
81,25
%
|
68,75
%
|
4
|
Lama
bunting
|
145
hari
|
149,5
hari
|
5
|
Litter
size
|
2,56
ekor
|
1,62
ekor
|
6
|
Bobot
lahir
|
2,92
kg
|
3,05
kg
|
Berdasarkan
hasil litter size diatas, menunjukkan
bahwa walaupun perlakuan laserpunktur menghasilkan jumlah anak yang lebih
banyak namun ukuran anaknya tetap normal sehingga pertumbuhannya nanti
diharapkan dapat normal sebagaimana sebagaimana anak-anak kambing yang
non-superovulasi. Selain itu, litter size juga didukung oleh faktor pakan baik
jumlah maupun mutunya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Jenis
– jenis teknik dalam teknologi superovulasi sangat bervariasi dimana masing –
masing teknik memiliki keuntungan dan kerugian. Salah satunya adalah teknik
laserpunktur yang banyak memberikan hasil positif terhadap produktivitas ternak
kambing meskipun belum banyak diaplikasikan pada masyarakat. Sehingga
diharapkan paper ini dapat memberikan sedikit solusi kepada masyarakat peternak
kambing yang kebanyakan memiliki modal kecil untuk melalukan superovulasi
dengan menggunakan preparat hormon yang terbilang masih mahal.
DAFTAR PUSTAKA
Beatrice,Sean Young;Chairul Anwar dan
Mas’ud Hariadi. 2011. Keberhasilan
Superovulasi Setelah Penyuntikan Human Menopause Gonadotropin (hMG) pada kambing
Peranakan Ettawa. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
: Surabaya.
Boediono, Arief. 1995. Aplikasi Bioteknologi Reproduksi Pada Hewan
Ternak. Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB : Bogor
Guntoro,
Suprio;Nym Suyasa;IAP Parwati dan M Rai Yasa. 1999. Supeovulasi Dengan Teknik Laserpunktur Pada Kambing Peranakan Ettawah.
lnstalavi Peneilitian dan Pcngkajian Teknologi
Pertanian Denpasar P.0, Box 3480, Denpasar 80222 : Denpasar
Guntoro,
Suprio. 2000. Gertak Birahi dan Superovulasi pada Kambing Dengan
Laserpunktur. Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar Jl. By Pass Ngurah Rai
P.O Box 3480 : Denpasar-Bali
Sutama, I Ketut. 2002. Tantangan Dan Peluang Peningkatan Produktivitas Kambing Melalui Inovasi
Teknologi Reproduksi. Balai
Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, PO Box. 221
Bogor
Sinkronisasi Estrus dengan Akupuntur Pada Kambing
Reviewed by kangmaruf
on
11:52 PM
Rating:
No comments: