Penanganan Maserasi Fetus pada Kucing (case report)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang berlimpah ruah sehingga
dikenal sebagai negara megabiodiversity. Keanekaragaman hayati Indonesia
menempati urutan kedua terbanyak diseluruh dunia setelah Brazil. Keanekaragaman
hayati di Indonesia seperti segala hasil hutan dan segala hasil pertanian
sangat penting bagi kehidupan manusia. Hasil pertanian dari lahan pertanian
Indonesia antara lain berupa sayuran dan buah-buahan.
Manusia membutuhkan hasil
pertanian ini untuk asupan makanan. Selain itu manusia juga membutuhkan hewan
sebagai teman hidup untuk hiburan dan hasrat psikologis. Salah hewan yang
dijadikan manusia sebagai teman itu, adalah kucing.
Kucing sebagai salah satu hewan kesayangan bagi manusia. Hal
ini di sebabkan kucing bersifat ramah dan manja kepada tuannya. Banyak sekali
manfaat dalam memelihara kucing sebagai hewan kesayangan, yaitu : sebagai teman
bermain, , memberikan kenyamanan fisik dan mengurangi tingkat stress.
Kucing disambut dengan tangan
terbuka ke setiap rumah, dicintai dan dimanjakan untuk alasan yang sama kita
memelihara seperti saat ini.
Meningkatnya
minat pada kucing domestic maupun kucing ras ini telah memacu dokter hewan
untuk mengoptimalkan penampilan reproduksi spesies ini. Dokter hewan harus
mampu mengabungkan pemahaman mengenai
fisiologi reproduksi, siklus estrus, dan perilaku seksual kucing untuk menjawab
persoalan-persoalan rutin tentang reproduksi dan mengatasi persoalan yang lebih
kompleks. Salah satu penyakit yang mengganggu kucing adalah maserasi fetus.
Maserasi fetus adalah kondisi patologis reproduksi selama masa kebuntingan,
fetus mengalami kematian diikuti infeksi sehingga fetus mengalami penghancuran
dan terbentuk gas di dalam uterus. Umumnya kasus kematian fetus terjadi sekitar
40 hari kebuntingan. (Junaidi, 2013). Tanda klinis yang biasanya ada pada
induk-induk yang mengalami maseras fetus seperti perdarahan seperti pada saat
rupture uterus atau tanda-tanda adanya infeksi. (Junaidi, 2013).
Terapi yang diberikan untuk
mengobati gangguan ini salah satunya adalah Ovarihisterektomi. Ovarihisterektomi
adalah prosedur pembedahan untuk mengangkat ovaium dan uterus, untuk mencegah
estrus, sterilisasi, mencegah tumor, menangani pyometra, metritis, neoplasia, kiste,
trauma, torsio uteri, prolapses uteri, prolapses, vagina, dan mencegah gangguan
endokrin (Sudisma, 2006). Dalam kesempatan ini akan dibahas penanganan maserasi
fetus dengan ovarihsiterektomi.
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui cara penanganan dan
tindakan pembedahan yang benar terhadap kasus maserasi fetus pada kucing.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan laporan ini adalah
untuk dapat memberikan pemahaman mengenai maserasi fetus kucing dan
penanganannya pada hewan kesayangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saat
embrio mati, maka akan diikuti oleh fase rearsobrsi, dan hewan akan kembali
estrsus, jika tidak ada tanda-tanda fetilisasi atau konsepsi dalam uterus. Jika
kematian terjadi sebelum rekognisi kebuntingan maternal, maka siklus estrus
tidak diperpanjang. Namun jika terjadi setelah rekognisi maternal, makan siklus
estrus akan diperpanjang.
Jika kematian embrio diakibatkan infeksi kemudian,
namun material embrionik diasbrobsi makan, akan terjadi pyometra. Kondisi ini
ditandai dengan corpsu luteum persisten, lubang cervisk tertutup, dan terjadi
akumulasi nanah (pus) dalam copus uteri dan cornua uteri.
Jika kematian fetus
terjadi setelah ossifikasi tulang-tulang dimulai, dan reasobsi material fetus
tidak dapat terjadi secara sempurna maka akan terjadi mumifikasi fetus, dan
jika dibarengi dengan infeksi akan terjadi maserasi fetus (Arthur, 2001).
2.1.
Maserasi Fetus
Maserasi fetus atau penghancuran fetus dapat terjadi pada setiap kebuntingan. Kematian embrio dini dan maserasi disebabkan oleh beberapa mikroorganisme yang terdapat di dalam uterus, dan sering terdapat pada hewan yang menderita penyakit trichomoniasis atau vibriosis.
Maserasi fetus dapat terjadi jika fetus yang mati disertai dengan dipertahankannya corpus luteum, dan diikuti lagi dengan terbukanya pintu serviks yang menjadi pusat masuknya bakteri autolitik dan bakteri lainya ke dalam uterus.
Fetus akhirnya mengalami kebusukan dalam uterus dan jaringan-jaringan lunaknya hancur dan keluar sebagai leleran vagina yang berbau busuk. Dalam banyak kasus tulang dapat terlalu besar dalam melalui lubang serviks dan akhirnya tertinggal dalam uterus, dan akhirnya secara normal mencegah terjadinya konsepsi.
Fragmen-fragmen besar dari tulang akhirnya tersimpan dalam endometrium dan mengakibatkan endometritis dalam beberapa kasus. Maserasi fetus juga dapat terjadi dalam masa puncak usia fetus yang mengalami kegagalan kelahiran atau keluar dari uterus (Jackson, 2004).
2.2.
Etiologi
Maserasi fetus yaitu kematian fetus yang terjadi
dipertengahan, atau sepertiga akhir masa kebuntingan, tidak memberikan inhibisi
pada corpus luteum. Suatu keadaan mengapa fetus masih dipertahankan di dalam
uterus karena masih adanya fetus yang masih hidup atau adanya corpus luteum
yang masih ada, dan ada hubungannya dengan fetus tunggal atau ganda.
Maserasi
yang ada hubungan dengan corpus luteum persisten. Karena pemeliharaan fetus ini
dilakukan oleh progesterone yang dihasilkan corpus luteum, pada spesies lainnya
progesterone dihasilkan plasenta fetus setelah pertengahan masa kebuntingan dan
corpus luteum telah involusi. Maserasi fetus juga dapat berasal dari mumifikasi
fetus yang diikuti oleh invasi ke uterus dan berakibat maserasi dari uterus.
Menurut
Kustritz, (2003) maserasi fetus juga dapat disebabkan oleh efek samping pemberian
progesterone terkait dosis, umur, dan spesies pasien. Pemberian progesterone
selama fase kehamian, akan mengakibatkan maskulinisasi fetus betina, kematian
fetus, maserasi atau mumifikasi.
Maserasi
fetus dapat terjadi pada beberapa spesies, namun sering terjadi pada sapi, dan
jarang dilaporkan pada anjing dan kucing. Hal ini terjadi karena konsekuen dari
kegagalan pengaborsian fetus, akibat inertia uterus. Bakteri kemudian masuk kedalam
uterus melalui dilatasi serviks, dan kombinasi dari putrefaksi dan autolysis
jaringan lunak yang dihancurkan, dan meninggalkan massa tulang fetus di dalam
uterus. Kadang-kadang benda ini dapat melekat pada dinding uterus sehingga
sulit dikeluarkan (Arthur, 2001).
2.3.
Tanda Klinis
Tanda klinis yang terlihat adalah keluar leleran
berbau busuk dari lubang vagina selama masa kebuntingan. Pada sapi, dapat
terpalpasi fragmen tulang yang besar dalam uterus selama pemeriksaan rektal.
Fragmen-fragmen tulang juga dapat dideteksi dari tulang yang menonjol keluar
dari serviks ke dalam vagina. Maserasi fetus juga dapat dideteksi dengan
ultrasonografi (USG). Pada hewan kecil fragmen tulang dapat di deteksi dengan
X-ray (rontgen) (Jackson, 2004)..
2.4.
Prognosa
Prognosa untuk penanganan kasus maserasi
fetus adalah dubius. Tingkat kesembuhannya (resolusi) baik, namun untuk tingkat fertilitas
hewan penderita akan turun, dan disarankan berhati-hati jika nantinya hewan
tersebut akan dikawinkan kembali (Jackson, 2004).
Youngquist dan Threlfall
(2007) mengatakan, kerusakan endometrium akibat fragmen-fragmen tulang pada maserasi fetus
akan mengakibatkan prognosis yang jelek untuk kembali ke fertilitas semula.
Januaidi (2013), melaporkan 21% kucing yang mengalami kelainan reproduksi akan
mengalami kegagalan menghasilkan embrio yang berkembang atau matang.
2.5.
Treatment
Terapi
jarang membuahkan hasil yang memuaskan, hal ini dikarenakan sulitnya
mengeluarkan fragmen-fragmen tulang yang tersisa dalam uterus. Jika jari tangan
dapat memasuki lubang serviks seperti hewan besar maka hal ini memungkinkan
fragmen-fragmen tulang dapat dikeluarkan dan diikuti dengan pembersihan uterus.
Suntikan prostaglandin lokal dalam
berbagai laporan memberikan hasil yang memuaskan dalam mendilatasi lubang
serviks (Jackson, 2004). Stillbestrol atau estradiol juga dilaporkan menyebabkan
relaksasi cervix dan involusi corpus luteum. ± 80% Maserasi dengan penyuntikan
tunggal estrogen cukup dan fetus keluar 37-72 jam kemudian. Dosis tinggi
tunggal estrogen biasanya pada sapi berhasil mendilatasi cervix atau expulsi
fetus 24-36 jam. (Wawung, 2006)
Histeretomy
(sectio caesaria) dan Ovariehisterektomy
dapat dilakukan namun hal ini jarang dilakukan karena pertimbangan ekonomi.
Pada hewan kecil histeretomy atau ovarihisterektomy diperlukan dan juga diperlukan
dalam usaha mencegah terjadinya toksikasi dari uterin inertia primer (Jackson, 2004).
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1. Hewan
a. Anamnesa
Berdasarkan informasi dari pemilik, leleran tersebut
keluar sejak 5 hari yang lalu, perutnya membesar, dan 1 bulan yang lalu pernah
diberikan obat KB (progesterone, progestin@). Kucing tersebut
mengalami perubahan nafsu makan, dan merasa kesakitan saat dipegang di daerah
abdomen, dan belum pernah diberikan penanganan sebelumnya.
b. Signalement Hewan
Nama hewan :
Mimi
Jenis hewan :
Kucing
Ras/Breed :
Persian, Medium
Warna bulu : Hitam
Jenis kelamin :
Betina
Bobot badan :
4,8 kg
Umur : 5 tahun
Gambar 1. Hewan pasien
c. Status Present
CRT : 2 detik
Suhu : 39 oC
Frekuensi nafas : 30×/menit
Frekuensi
jantung :128×/menit
d. Gejala Klinis
Tanda
klinis dari kucing pada kasus ini adalah anoreksia, keluar leleran kental
berbau busuk dari vagina, abdomen membesar, putting membesar, dan kucing
mengalami kesakitan apabila dipalpasi pada daerah tersebut. Hasil pemeriksaan
fisik meliputi :
Kulit
|
: Normal
|
Sistem respirasi
|
: Normal
|
Feses
|
: Normal
|
Sistem sirkulasi
|
: Normal
|
Urin
|
: Normal
|
Sistem syaraf
|
: Normal
|
Anggota gerak
|
: Normal
|
Sistem reproduksi
|
e.
Uji Laboratorium
Perlu
dilakukan uji
laboratorium (hematologi rutin) lebih lanjut untuk
mengetahui ada tidaknya anemia, dan tanda-tanda infeksi. Hasil dari uji hematologi rutin :
Tabel. 1 Hasil pemeriksaan hematologi
rutin
Hematologi rutin
|
Hasil
|
Nilai rujukan
|
Satuan
|
Hemoglobin
|
11,4
|
8-15
|
g/dl
|
Leukosit
|
14,54
|
5,5-19,5
|
103/mm3
|
Eritrosit
|
7,56
|
5-10
|
106/mm3
|
Trombosit
|
83
|
300-800
|
103/mm3
|
PCV
|
31,67
|
24-45
|
%
|
MCV
|
42
|
39-55
|
Fl
|
MCH
|
15,1
|
12,5-17,5
|
Pg
|
MCHC
|
36,0
|
30-36
|
g/dl
|
Neutrofil
|
75,6
|
35-80
|
%
|
Limfosit
|
17,1
|
20-55
|
%
|
Monosit
|
3,2
|
1-3
|
%
|
Eosinofil
|
4,0
|
0-10
|
%
|
Basofil
|
0,1
|
0-1
|
%
|
Intepretasi : Trombositopenia,
limfopenia, monositosis
f.
Diagnosis
Diagnosis dari kejadian maserasi
fetus pada kucing dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tanda
klinis, hematologi rutin, dan pencitraan (rontgen).
Gambar 3.
Hasil rontgen
g.
Prognosis
Prognosis dari penanganan maserasi
fetus ini adalah dubius. Hewan sudah menunjukan stress, dan penurunan nafsu
makan, namun kasus masih dapat ditangani karena belum ada tanda-tanda
toksikasi, demam, infeksi sistemik sehingga tingkat kesembuhan lebih besar.
3.1.2. Alat
Peralatan dan perlengkapan operasi yang digunakan
dalam operasi ini yaitu pinset anatomis, pinset sirugis, towel
clamp, gunting, scalpel,
arteri clamp, needle
holder, spuite,
tampon, kapas, kassa, plester, jarum bulat dan penampang segitiga, vicryl 3/0, cutgut chromic 3/0, silk, kain drape, IV cat, stetoskop, thermometer,
selang infus, cateter, pencukur rambut, sarung tangan, masker, timbangan elektrik, penutup kepala,
dan baju bedah.
3.1.3. Bahan
Bahan-bahan yang
digunakan antara lain premedikasi yakni atropin sulfat dan anestesi umum yaitu xilasin (@Xyla), dan
ketamin (@Ketamil)
serta bantuan anestesi inhalasi isofluran. Bahan lainnya seperti cairan infus Ringer Laktat,
alkohol 70 %, iodium tincture, antibiotika amoxillin injeksi (@Betamox),
amoxicillin suspense (@Hufanoxil), ibuprofen syrup (@Bufect),
oxytetracycline salep, dan Neomysin salep..
3.2 Metode
Prosedur operasi terdiri atas tiga
tahapan yang meliputi preoperasi, operasi dan post operasi.
3.2.1. Preoperasi
a. Persiapan alat, bahan, obat dan Sterilisasi Peralatan operasi
Peralatan
yang akan digunakan dalam operasi harus melalui proses sterilisasi, begitu pula
dengan perlengkapan operator dan asisten yang meliputi tutup kepala, masker,
baju operasi,
dan sarung tangan. Sterilisasi alat dengan mensterilkan alat didalam autoklaf selama 30 menit.
Gambar 4. Peralatan Operasi dan Perlengkapan Operator
b. Persiapan Ruang Operasi
Ruang
operasi, meja operasi harus bersih, steril dan telah dilengkapi dengan segala
keperluan operasi untuk memudahkan dan melancarkan kegiatan opera.
c. Persiapan Hewan/Pasien
Persiapan
hewan sebelum operasi dimulai dengan melakukan pemeriksaan fisik (Physical Examination) yang meliputi
pemeriksaan suhu (oC),
frekuensi nafas (kali/menit), pulsus (kali/menit), berat badan (kg), capirally refil time (CRT), dan selaput
mukosa. Hal ini dilakukan untuk mempermudah evaluasi hasil monitoring hewan
saat di lakukan operasi.
Setelah
pemeriksaan kesehatan sudah dilakukan maka hewan dipuasakan selama ± 12 jam
sebelum tindakan operatif dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya muntah, urinasi ataupun defekasi saat operasi berlangsung.
Sebelum
memasuki tahap operasi, kucing terlebih dahulu ditimbang berat badannya untuk
menentukan dosis berbagai sediaan obat yang akan diberikan pada saat pre
operasi, operasi dan post operasi. Tindakan operatif pada hewan membutuhkan
restrain dan handling yang tepat untuk bisa mengendalikan hewan.
Dalam hal ini
dibutuhkan chemical restrain, yaitu
mengendalikan hewan dengan cara mengurangi/menghilangkan kesadaran hewan dengan
menggunakan bahan kimia. Berikut perhitungan dosis penggunaan premedikasi dan
anastesi yang digunakan :
a.
Premedikasi
· Atropin
: 0,02-0,04 mg/kgBB x 4,8 KgBB = 0.4 – 0,8 ml (0,7)
0,25 mg/ml
b.
Anasthesi
· Xylazin = 1-3 mg/kgBB x 4,8 KgBB =
0,2 - 0,7 ml (0,4)
20 mg/ml
· Ketamin = 10-33 mg/kgBB x 4,8 KgBB = 0,5-1,6 ml (0,7)
100 mg/ml
Hewan
yang telah teranestesi dengan sempurna kemudian dicukur di bagian ventral abdomen
hingga bersih (tanpa ada sisa-sisa rambut disekitar daerah sayatan). Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi dan memudahkan kesembuhan.
Bagian yang telah bersih kemudian didesinfeksi menggunakan alkohol 70% dengan
searah tubuh hewan dan dilanjutkan dengan pemberian antiseptik iodine tincture
3% dengan arah melingkar dari arah dalam keluar. Kemudian hewan dibawa ke meja
operasi dan daerah disekitar orientasi operasi ditutup dengan kain drape dan dijepit dengan towl clamp.
d. Persiapan Operator dan Asisten Operator
Operator
dan asisten harus mengenakan pakaian dan perlengkapan yang telah disterilisasi
sebelumnya. Hal ini sangat penting untuk mengurangi terjadinya kontaminasi
silang dari operator dan asisten ke daerah steril di meja operasi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan operator
dan asisten adalah mencuci tangan dengan sabun sebelum mengenakan tutup kepala
dan masker kemudian memakai baju operasi dan sarung tangan. Setelah semua
prosedur persiapan tersebut dilalui, proses operasi dapat dilakukan.
3.2.2. Operasi
Setelah semua
dipersiapkan dan dianestesi, hewan dibaringkan dengan posisi dorsal
recumbency. Penyayatan dilakukan di daerah ventral abdomen. Daerah ventral
abdominal disiapkan sebaga daerah operasi, yaitu dari xiphoid sampai daerah
pubis.
Umbilikus diidentifikasi dan diperkirakan untuk membagi daerah abdomen
menjadi tiga bagian. Insisi dilakukan lebih kaudal mulai
dari 1/3 bagian tengah abdominal. Insisi dilakukan pada kulit dan subkutan
sepanjang 4-8 cm untuk membuka linea alba.
Linea alba dipegang dan diangkat
sedikit keluar untuk dapat melakukan insisi. Insisi pada linea alba dilebarkan
ke kranial dan kaudal unl untuk mengangkat koruna tuk membuka rongga abdomen. Dinding abdominal kiri dikuakkan dan dimasukan ovariectomy
hook. Hook dimasukan menelusuri dinding bagian kiri abdominal, 2-3 cm di kaudal
ginjal.
Hook digerakan ke medial untuk mengangkat koruna uteri dan
ligamentumnya. Untuk memastikan bahwa diangkat
adalah koruna uteri. Ditelusuri ke kaudal untuk menenmukan bifurcation uteri
dan ke kranial untuk menemukan ovarium. Apabila kornua uteri tidak ditemukan
dengan menggunakan hook, dilakukan palpasi pada katung kencing sepanjang
insisi.
Corpus uteri berada diantara kantung dan colon. Setelah ovarium ditemukan, dipalpasi
adanya ligamentum suspensarium pada ujung proksimal ovarium. Ligamentum ditelusui dengan jari
telunjuk, ditarik dan dilakukan pemutusan di dekat ginjal tanpa merobek darah. Tanpa dilakukan pemutusan ligamentum ovarium akan sulit
dikeluarkan.
Dipasang dua atau tiga clamp di dekat
ovarium untuk persiapan melakukan ligase. Clamp paling proksimal (dalam)
digunakan untuk tempat ligase. Clamp ditengah digunakan untuk
memegang saat melakukan ligase. Sedangkan clamp paling distal (luar) digunakan
untuk mencegah kembalinya aliran darah setelah dilakukan transeksi Ligase pada pembuluh darah ovarium menggunakan bentuk “8”
dengan benang absorbable 3-0 chromic catgut.
Dibuat ikatan kedua diatas ikatan
pertama untuk mencegah perdarahan. Dilakukan pemotongan ovarium dan
kontrol terjadinya perdarahan. Kornua uteri ditelusuri sampai
bifurkasio uterus untuk mendapatkan koruna dan ovarium disebelahnya. Diletakan
clamp dan dilakukan lligasi seperti langkah yang telah dijelaskan di atas
Setelah kedua ovarium terpotong,
uterus ditarik keluar dan dilakukan ligase pada pembuluh darah kiri kanan
corpus uteri dengan 3-0 chromic catgut dan seluruh corpus uteri juga diikat di
dekat cerviks.setelah itu insisi dilakukan diantara ligase tadi, dan cornua
uteri, dan ovarium diangkat. otot-otot dinding perut dijahit dengan menggunakan
benang chromic catgut 3/0 dengan jahitan subcuticuler.
Kemudian kulit dijahit
menggunakan benang silk 3/0 dengan jahitan sederhana terputus
(Hickman dan Walker, 1998).
Pemberian antibiotik betamox cair ada setiap lapisan yang dijahit untuk mencegah
infeksi sekunder post operasi. Setelah selesai luka jahitan dioles dengan iodium
tincture dan oxytetracycline kemudian ditutup dengan kassa.
Selama operasi, dilakukan
monitoring terhadap kondisi pasien setiap 10 menit yang meliputi monitoring suhu,
frekuensi nafas, frekuensi jantung, dan mukosa
(Fossum 2002).
Teknis Operasi
1.
Kucing dipersiapkan secara rebah dorsal,
cukur bulu lalu diberi desinfeksi dengan iodine dan alkohol. Dan terakhir
letakan kain drape di atas lokasi yang akan diinsisi
Gambar 5.
Peletakan kain drape, sebelum operasi
2. Setelah itu, dibuat incisi ventral midline 1/3 dikaudal umbilikus,
mulai kulit, subkutan hingga ke peritonial.
Gambar 6. Insisi
rongga abdomen
3.
Setelah peritoneum terbuka, cornua
uterus di cari, dan diambil dengan menggunakan hook atau dengan jari. Setelah dapat, keluarkan uterus perlahan-lahan
agar tidak terjadi kerobekan ligamentum, dan perdarahan lokal.
Gambar.
7 uterus dikeluarkan dari rongga abdomen
4. Ovarium kiri dan kanan dicari dan setelah ovarium ditemukan, 2 klem
dipasang di dekat ovarium dan ovarium diligasi dengan benang chromic catgut 3-0.
5. Setelah
dilakukan ligasi pada pembuluh darah ovarium kiri dan kanan menggunakan bentuk
“8” dengan benang absorbable 3-0 chromic catgut. Dan ikatan kedua dibuat di atas
ikatan pertama untuk mencegah perdarahan.
Gambar.
8 ligasi pembuluh darah disekitar ovarium
6. Kemudian
pemotongan dilakukan diantara ligase pembuluh darah tadi dan kontrol terjadinya
perdarahan.
Gambar.
9 insisi dikedua ovarium
7. Corpus uteri kemudian dicari dengan
menelusuri cornua uteri, dan
jepitkan clamp atas dan bawah, dan dilakukan ligasi dengan benang chromic
catgut 3-0 diantara kedua klem tersebut beri jarak atara keduanya sebagai
tempat insisi.\
Gambar. 10. Ligasi pembuluh darah corpus uteri
8. Setelah
diligasi insisi, corpus uteri di insisi diantara kedua ligase tadi control
terjadinya perdarahan, apabila darah keluar dari bagian yang dinsisi, harus
dilakukan ligase, dan bagian yang sudah terinsisi (ovarium-cornua uteri) tadi
diangkat dari saluran reproduksi dalam rongga abdomen.
Gambar
11. Uterus yang sudah diangkat (OH)
9. Masukan kembali bagian yang tersisa
kedalam rongga abdomen, Lalu ditetesi dengan antibiotik Pen-Strep untuk mencegah infeksi.
10.
Rongga
abdomen kemudian ditutup dengan menjahit otot abdomen dan peritoneum bersamaan
dengan benang absorbable vicryl 3/0.
Dengan pola jahitan tunggal terputus. Diikuti dengan dengan menyatukan subkutan
dengan pola jahitan menerus dengan benang chromic catgut 3/0,
kemudian kulit dengan pola jahitan terputus dengan benang non absorbable silk.
Luka kemudian diolesi dengan
iodine lalu diolesi Oxytetracycline salep. Amoxicillin injeksi diberikan secara
intramuskuler untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pasca operasi.
Kemudian luka ditutup menggunakan kassa steril dan plester untuk mencegah
kontaminasi luar.
Gambar 12. Proses penjahitan dan
penutupan luka pembedahan
Gambar 13. Luka jahitan diberi Oxytetrasiklin salep, dan
plester (Ultrafix) untuk mencegah kontaminasi luar
3.2.3. Post Operasi
Pada kesembuhan post
operasi, parameter
fisiologis terus dipantau yang meliputi temperatur,
frekuensi nafas, frekuensi jantung, nafsu makan, minum, feses dan urine. Pengobatan
dilakukan setiap hari
meliputi pemberian antibiotik
oral dan oxytetracycline salep dan
pembersihan pada luka jahitan. Luka jahitan terus dipantau, untuk mengotrol terjadinya
infeksi.
Pemberian antibiotik amoxicillin syrup untuk mencegah infeksi selama
5 hari. Luka
jahitan dibersihkan kemudian diberi iodine dan salep kemudian ditutup dengan kassa steril. Antibiotik
yang digunakan yaitu oxytetracyclin topikal
secukupnya dan amoxcilin
25 mg syrup, dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari, dan setelah luka mulai
mengering diberikan deksamethasone-neomisin topical diikuti dengan penghentian
oxytetrasiklin salep untuk menunjang kesembuhan.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 2. Kondisi Hewan
Pasca Operasi Hingga Hari ke-14
Pasca
Operasi
|
Keterangan
Kondisi Hewan
|
Terapi
|
Hari 1
|
Nafsu makan dan minum turun, dan ada perdangan pada luka operasi
|
Amoxicilin inj., ibuprofen syr., hematopan inj. Oxytetrasiklin salep.
|
Hari 2
|
Nafsu makan dan minum masih turun, luka pembedahan masih meradang.
|
Oxytetrasiklin salep., glukosa 5% oral
|
Hari 3
|
Nafsu makan dan minum membaik, luka pembedahan masih radang
|
Oxytetrasiklin salep., ibufrofen syr.
|
Hari 4
|
Nafsu makan dan minum meningkat, hewan aktif, namun tetap ada
peradangan pada luka pembedahan
|
Oxytetrasiklin salep, amoxicillin syr.
|
Hari 5
|
Nafsu makan dan minum baik, hewan aktif, luka peradangan pada luka pembedahan
mulai berkurang
|
Oxytetrasiklin salep, amoxicillin syr.
|
Hari 6
|
Nafsu makan dan minum baik, hewan aktif, peradangan pada luka
pembedahan berkurang, namun luka masih basah
|
Oxytetrasiklin salep, amoxicillin syr.
|
Hari 7-10
|
Nafsu makan dan minum baik, hewan aktif, peradangan luka pembedahan
hilang, namun luka basah
|
Oxytetrasiklin salep,
|
Hari 11-12
|
Nafsu makan dan minum baik, hewan aktif, peradangan luka pembedahan
hilang, luka mulai mengering tapi jahitan masih belum bisa dilepas
|
Betametason-N salep
|
Hari 13
|
Nafsu makan dan minum baik, hewan aktif, peradangan luka pembedahan
hilang, luka sudah mengering, jahitan masih belum bias dilepas
|
Betametason-N salep
|
Hari 14
|
Nafsu makan dan minum baik, hewan aktif, peradangan luka pembedahan
hilang, luka sudah kering, jahitan sudah dilepas
|
Betametason-N salep
|
Gambar 14. Luka mengering
4.2 Pembahasan
Sangat
sedikit informasi yang tersedia pada agen penyebab non infeksius yang
menyebabkan kematian embrio pada kucing. Saat ini kasus kematian embrio pada
kucing kebanyakannya disebabkan oleh factor stress, dan penannganan yang
dilakukan adalah mencegah hal-hal yang dapat membuat kucing bunting mengalami
stress.
Penyebab infeksius yang mengakibatkan kematian embrion pada kucing
yaitu viral rhinotracheitis (FVR), dan felin panleukopenia virus (FPV), yang
menyebabkan aborsi, mumifikasi atau maserasi fetus, kematian embrio dini, dan
feline leukaemia virus (FELV) yang menyebabkan reasorbsi, aborsi, dan
bertanggung jawab mengakibatkan sindrom fading
kittens (Arthur, 2001).
Menurut junaidi (2013), kasus maserasi atau
mumifikasi fetus pada kucing merupakan hasil dari kebuntingan ektopik, yang
menyiratkan bahwa pertumbuhan diluar uterus dan perlekatan plasenta pada suatu
jaringan selain endometrium bias saja terjadi.
Sedangkan menurut Youngquist dan
Threlfall (2007), mumifikasi atau
maserasi fetus dapat terjadi pada setiap stadium kebuntingan, namun bisanya
terjadi setelah fetus mengalami osifikasi tulang, diikuti dengan dilatasi
serviks yang mengakibatkan masuknya agen infeksius ke dalam uterus dan
mengakibatkan kematian pada fetus. Hal yang paling mudah dikenali adalah
munculnya leleran keruh dari vagina.
Pada
kasus kali ini, maserasi fetus terjadi akibat efek samping dari penggunaan
progesterone selama fase bunting tua. Fetus yang seharusnya lahir pada hari
66-67, di perpanjang waktunya sehingga mengakibatkan kematian pada fetus, dan
diikuti infeksi dari luar. Menurut Kustritz (2003), maserasi fetus juga dapat
disebabkan oleh efek samping pemberian progesterone terkait dosis, umur, dan
spesies pasien.
Pemberian progesterone selama fase kehamian, akan mengakibatkan
maskulinisasi fetus betina, kematian fetus, maserasi atau mumifikasi. Hal ini
terjadi karena manajemen pemeliharaan yang dilakukan pemilik, melepas kucingnya
saat sedang birahi. Tanpa diketahui pemilik, kucing kawin dengan kucing liar
lain, kemudian dengan maksud hendak mencegah hewan beranak kembali, pemilik
memberika KB (progesterone) kepada kucing kesayangannya, sehingga beberapa hari
kemudian abdomen hewan terlihat mebesar diikuti leleran busuk yang keluar lewat
lubang vagina, karena fetus yang ada dalam uterus kucing mati akibat pengaruh
dari suntikan hormon progesterone.
Diagnosis
tersebut diteguhkan berdasarkan, leleran vagina, hasil pemeriksaan hematologi
rutin, dan rontgen. Menurut Slatter (2003), alur diagnosis leleran vagina
meliputi pemeriksaan vagina, apa bila ada massa diikuti dengan biopsy atau
aspirasi, apabila tidak ada massa, diikuti dengan pemeriksaan mikroskopis,
apabila ditemuka tanda-tanda perdarahan (haemoragic) diikuti lagi dengan
pencitraan (usg, x-ray) apabila terbukti bunting, maka hewan mengalami aborsi.
Namun jika ditemukan tanda-tanda penumpukan nanah purulent, harus iikuti dengan
pencitraan (usg, x-ray) apabila terdiagnosis tidak bunting maka kemungkinan
hewa terkena pyometra, apabila terdiagnosis maka fetus mengalami kematian. Hasil
rontgen menunjukan adanya akumulasi cairan atau gas, dan bentukan padat
(tulang) dalam uterus kucing. Sehingga dapat disimpulkan fetus dalam uterus
mengalami kematian, dikuti pembusukan sehingga muncul leleran berbau busuk pada
lubang vagina.
Terapi untuk mengatasi
maserasi fetus dapat dilakukan dengan 2 hal yaitu terapi hormonal, dan metode
pembedahan. Suntikan prostaglandin lokal dalam berbagai laporan memberikan
hasil yang memuaskan dalam mendilatasi lubang serviks (Jackson, 2004).
Stillbestrol atau estradiol juga dilaporkan menyebabkan relaksasi cervix dan
involusi corpus luteum. ± 80%
Maserasi dengan penyuntikan tunggal estrogen
cukup dan fetus keluar 37-72 jam kemudian. Dosis tinggi tunggal estrogen
biasanya pada sapi berhasil mendilatasi cervix atau expulsi fetus 24-36 jam.
(Wawung, 2006). Namun Youngquist dan Threlfall (2007), mengatakan maserasi
fetus akan menghasilkan kerusakan endometrium yang bersifat kronis, pemberian
prostaglandin ataiu estrogen tidak memberikan hasil yang memuaskan. sehingga
pada hewan besar, hewan direkomendasikan di potong, dan pada hewan kecil
sebaiknya disterilisiasi (Ovarihisterektomi).
Tulang-tulang hasil maserasi dikeluarkan
lewat metode pembedahan atau lewat serviks yang mengalami dilatasi, sebelum
atau sesudah pemberisan PGF2a atau estradiol, namun perlu diingat
kerusakan endometrium ini akan mengakibatkan prognosis yang jelek untuk kembali
ke fertilitas semula.
Berdasarkan uraian diatas, maka kucing kasus di
Ovarihisterektomi disamping jeleknya prognosis terhadap fertilitasnya, juga
pertimbangan hewan yang sudah tua, sekaligus permintaan dari pemilik hewan
(kilen) yang memninta agar kucingnya disteril saja. Mengingat kasus ini juga
merupakan kasus yang bersifat emergency (gawat) maka pemebdahan pun dilakukan
dengan segera.
Setelah dilakukan
operasi, pada hari pertama sampai hari keenam terlihat luka mengalami kemerahan
dan bengkak akibat proses peradangan. Pada fase ini terjadi respon vaskuler dan
seluler terhadap luka yang terjadi secara alamiah.
Inflamasi terjadi secara
sistematis dimulai dari vasodilatasi pembuluh darah yang normal terjadi dalam
tahap respon awal tubuh terhadap benda asing atau luka, peningkatan volume
darah dalam pembuluh darah menyebabkan peningkatan suhu dan daerah peradangan
menjadi merah. Vasodilatasi ini menyebabkan pembengkakan yang menekan sistem
saraf perifer di sekitarnya, sehingga adanya respon sakit dan gangguan fungsi
pada daerah tersebut (Kozier, 2004).
Proses kesembuhan luka
pada kucing ini mulai terlihat pada hari 11-12 dimana kemerahan dan bengkak pada luka mulai
menghilang, serta luka mulai mengering dan hewan sudah aktif bergerak.
Penanganan selama lima hari pasca operasi diberikan antibiotika tetracycline
salep untuk mencegah infeksi sekunder. Selain itu juga diberikan iodium pada
luka bekas operasi dengan tujuan sebagai antiseptik dan juga agar luka cepat
mengering. Setelah luka mengering dan sudah terlihat kembali kontinyuitas
kulit, benang pada jahitan luka dibuka pada hari ke-14.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1.
Maserasi
adalah suatu keadaan patologis kebuntingan yang ditandai dengan kematian pada
fetus pada fase ossifikasi tulang fetus, diikuti dengan corpus luteum
persisten, dilatasi cerviks uteri yang mengakibatkan agen infeksi masuk dan
merusak janin uterus menjadi fragmen-fragmen cair dan gas. Kondisi ini bias
disebkan oleh agen infeksius maupun infeksius.
Diagnose yang paling mudah
mennetukan penyakit ini dengan anamnesa, sejarah perkawinan, lelran yang keluar
dari vagina, dan hasil pencitraan (usg, x-ray). Umumnya prognosis hewan yang
sudah terkena maserasi fetus statis fertilitasnya akan menjadi jelek. Dalam hal
ini dianjurkan sebaiknya hewan di sterilisasi atau ovarihisterektomi guna
mencegah kelainan patologis reproduksi dimasa mendatang.
2.
Maserasi
fetus tergolong dalam bedah darurat (emergency surgery) sehingga hewan yang
terkena penyakit ini harus ditangani secepatnya, sebab fetus yang mati nantinya
akan menimbulkan toksikasi pada induk, yang dapat mengakibtkan kematian pada
induk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, GH.
2001. Athur’s Veterinary Reproduction and
Obtetrics. Saunders publisher. China
Jackson, PGG.
2004.Handbook of Veterinary Obstetrics Second Edition. Saunder Publisher.
China.
Junaidi, A. 2013. Reproduksi dan Obstetri pada Kucing.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Kustritz, MVR. 2003. Small Animal Theriogenology. Elsivier
Publsihing. Missouri
Kozier. 2004. Fundamental
of Nursing; Concept, Process, and Practice. (Fourth Edition) California:
Addison-Wesley Publishing CO.
Slatter, D.
2003. Textbook of Small Animal Surgery
Third Edition. Saunder Publisher. Philadelphia
Sudisma, I.G.N, I.G.A.G.P Pemayun, A.A.G Jayawardhita,
I.W Gorda. 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan
Teknik Operasi. Fakultas Kedokteran Hewan Udayana. Denpasar. Udayana
university press.
Walton, R. L. 1990. Perawatan Luka dan Penderita
Perlukaan Ganda, Alih Bahasa. Sonny Samsudin, Cetakan I. Jakarta : EGC
Wawung. 2006. http://komunitas-dokterhewan.blogspot.com/2008/03/mumifikasi-fetus-pada-sapi.html. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015
Yongquist RS, dan Threlfall WR. 2007. Current
Therapy in Large Animal Theriogenology Second Edition. Saunders Publiher.
Missouri. United States of America.
LAMPIRAN
Lampiran 1. (Dosis Obat dan Anestesi)
Atropin sulfat
Sediaan : 0,25 mg/ml
Dosis Anjuran :
0,02 – 0,04 mg/kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis : Dosis x Berat Badan
Sediaan
: (0,02-0,04) mg/kg x 4,8
kg
0,25 mg/ml
: 0,384 - 0,768 (0,4-0,8)
Jumlah yang diberikan :
0,7 ml
Xilasin (@Xyla)
Sediaan : 20 mg/ml
Dosis Anjuran :
1 – 3 mg/kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis : Dosis x Berat Badan
Sediaan
: (1-3) mg /kg x 4,8
kg
20 mg/ml
: 0,24 – 0,72 ml (0,2 – 0,7)
Jumlah yang diberikan :
0,4 ml
Ketamin (@Ketamil)
Sediaan : 100 mg/ml
Dosis Anjuran :
10 – 33 mg/kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis : Dosis x Berat Badan
Sediaan
: (10-33) mg/kg x 4,8
kg
100 mg/ml
: 0,48 - 1,584 (0,5-1,6)
Jumlah yang diberikan :
0,7 ml
Amoxicillin injeksi (@Betamox
L.A)
Sediaan : 150 mg/ml
Dosis : (10 - 15) ml/kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis :
Dosis x
Berat Badan
Sediaan
: (10-15) mg/kg x 4,8
kg
150 mg/ml
: 0,32 –
0,48 ml (0,3 – 0,5)
Jumlah yang diberikan :
0,5 ml diinjeksikan setelah operasi
Hematopan
Dosis : (1 ml/5kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis :
Dosis x
Berat Badan
: 1/5 mg/kg x 4,8
kg
: 0,96 (1 ml)
Jumlah yang diberikan :
1 ml diinjeksikan setelah operasi
Ibuprofen (@Bufect)
Sediaan : 20 ml
Dosis : (8 - 10) ml/kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis :
Dosis x
Berat Badan
Sediaan
: (8-10) mg/kg x 4,8
kg
20 mg/ml
: 1,92 – 2,4
ml
Jumlah yang diberikan :
2,4 ml selama 2 hari
Amoxicillin oral, (@Hufanoxil)
Sediaan : 25 mg/ ml
Dosis : (11-22mg) ml/kg berat badan
Berat Badan : 4,8 kg
Dosis :
Dosis x
Berat Badan
Sediaan
: (11-22) mg/kg x 4,8
kg
25 mg/ml
:
2,112 – 4,224 ml (2,1 – 4,2)
Jumlah yang diberikan : 4 ml diberikan secara oral 3 hari
setelah operasi setelah
S. Amoxicillin syr. 1 fl
d.t.d no. I
S. 2. d.d 1/2 cth.
S. Oxytetracycline salep 3%
s. u. e
S. Betametason-N
s.u.e
Penanganan Maserasi Fetus pada Kucing (case report)
Reviewed by kangmaruf
on
11:37 PM
Rating:
No comments: