BEF (Bovine Ephemeral Fever)/ Deman Tiga Hari.Studi Kasus
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi bali
merupakan salah satu sumber daya genetik ternak asli Indonesia dan satu-satunya
di dunia. Sebagai bangsa Indonesia tentunya kita merasa bangga, karena plasma
nutfah sapi bali hanya terdapat di negara kita, sehingga perlu dikembangkan dan
dilestarikan. Melalui pengembangan sapi bali disamping untuk pemuliabiakan dan
pelestarian sumber daya alam juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat,
perluasan lapangan kerja, serta penyediaan protein hewani. Provinsi Bali
merupakan salah satu daerah pemasok sapi potong untuk kebutuhan daging
nasional. Di samping untuk kebutuhan daging, permintaan sapi bibit dari luar
bali cukup tinggi, baik nasional maupun luar negeri sampai saat ini belum bisa
dipenuhi. Terkait hal tersebut, maka manajemen pemeliharaannya harus tersusun dengan
baik, karena manajemen yang buruk akan berakibat timbulnya penyakit hewan yang
tentunya menurunkan nilai ekonomis dari sapi
.
Penyakit hewan merupakan salah satu
faktor yang turut berpengaruh dalam usaha pengembangan ternak sebagai penghasil
bahan pangan hewani. Umumnya penyakit hewan dapat dikategorikan sebagai
penyakit non-infeksius dan penyakit infeksius (penyakit yang disebabkan oleh
virus, bakterial, parasit dan jamur). Salah satu penyakit viral yang cukup
penting dan banyak terjadi di Indonesia adalah penyakit Bovine Ephemeral
Fever (BEF).
Bovine Ephemeral Fever (BEF)
adalah salah satu penyakit virus arbo pada sapi dan kerbau, seperti Bostaurus,
Bos indicus dan Bos javanicus. Pada ruminansia lainnya infeksi BEF
biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Penyakit BEF sering juga disebut `three
days sickness', stiff sickness, dengue fever of cattle, bovine epizootic
fever dan lazy man's disease. Penyakit ini ditandai dengan demam
selama tiga hari, kekakuan dan kelumpuhan, namun demikian dapat sembuh spontan
dalam waktu tiga hari. Oleh karena itu, nama BEF atau demam tiga hari lebih
sering digunakan (Yeruham et al. 2007; Zheng et al. 2011). Dari ciri-ciri
diatas, maka hal ini akan sangat merugikan dan mempengaruhi kesejahteraan para
peternak-peternak yang ada di Bali khususnya di kabupaten Badung.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang
menyebabkan terjadinya Bovine Ephemeral
Fever (BEF) pada sapi bali?
2.
Berapa tingkat prevalensi kejadian Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali di Kabupaten
Badung?
3.
Apa saja tindakan dan pengobatan yang sudah dilakukan Dinas
Peternakan kabupaten Badung untuk pencegahan Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah meningkatkan pengertian dan
pemahaman tentang penyakit starategis pada hewan di Kabupaten Badung. Serta mengetahui tingkat prevalensi dan penyebab Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali. Selain itu juga untuk mengetahui tindakan yang sudah
dilakukan Dinas Peternakan Kabupaten Badung untuk pencegahan dan pengobatan Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang diperoleh adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang penyakit-penyakit
hewan strategis di wilayah Kabupaten Badung khususnya penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi
bali. Sehingga dapat dijadikan acuan dalam
penanganan dan pengobatannya berdasarkan epidemiologi penyebaran dan
kejadiannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Bovine Ephemeral Fever disebabkan oleh virus BEF, yang termasuk dalam single stranded RNA,
genus Ephemerovirus, family Rhabdoviridae. Virus ini mempunyai
besaran antara 80-140 nm, dan berbentuk seperti peluru, mempunyai amplop,
sehingga sensitf terhadap diethylether
dan sodium deoxycholate (St. George 1988). Pada suhu 48°C, virus BEF
tetap aktif dalam darah. Virus ini juga dapat diinaktifkan pada suhu 56°C
selama 10 menit atau 37°C selama 18 jam (Della Porta dan Brown 1979). Virus BEF
tidak aktif pada pH 2,5 atau pH 12,0 selama 12 menit. Hasil karakterisasi
isolat BEF dari beberapa negara menunjukkan bahwa isolat BEF asal Jepang,
Taiwan, Cina, Turki, Israel dan Australia, memiliki kesamaan gen yang conserve.
Secara filogenetik, BEF memiliki kesamaan berdasarkan daerah/negara, yang
terbagi dalam tiga kelompok klaster yaitu kelompok Asia, Australia dan Timur
Tengah (Zheng dan Qiu 2012). Tidak ada perbedaan yang jelas antara strain virus
yang satu dengan yang lain, meskipun di Australia, isolat virus BEF yang
diperoleh dari nyamuk berbeda dengan yang diperoleh dari ternak sapi yang
terinfeksi. Isolat yang diperoleh hanya membedakan antara virus BEF virulen dan
avirulen (Kato et al. 2009).
2.2 Epidemiologi Penyakit
Bovine Ephemeral Fever (BEF), dilaporkan di
beberapa Negara dalam beberapa tahun terakhir, antara lain Israel (Yeruham et
al. 2002; 2005; 2010), Taiwan (Hsieh et al. 2005), Cina (Qiu et al. 2010; Zheng
et al. 2009; Zhao et al. 2008), Jepang (Ogawa 1992), Australia (Uren et al.
1989), Saudi Arabia (Abu Elzein et al. 2006), Iran (Abu Elzein et al. 2006), Mesir
(Zaher dan Ahmed 2011), Afrika (Davies et al. 1990; Walker 2005) dan Indonesia
(Daniels et al. 1992; Ronohardjo dan Rastiko 1982). Serum yang positif BEF paling banyak ditemukan di Afrika, tidak
ditemukan di beberapa negara seperti Eropa, Amerika Utara dan Selatan atau
Selandia Baru (Walker 2005). Umumnya, penyakit ini menyebar akibat perpindahan
ternak terinfeksi dan vektornya (Yeruham et al. 2007). Perpindahan vektor dapat
disebabkan oleh perubahan iklim atau terganggunya ekologi lingkungan. Perubahan
iklim dapat mengakibatkan peningkatan jumlah populasi vektor/nyamuk. Kasus BEF
dapat overheat shoers produksi ternak. Selain itu, perubahan iklim juga
dapat berdampak terhadap peningkatan populasi vektor yang akhirnya dapat
menyebabkan peningkatan kasus BEF pada ternak. Sebaliknya, peningkatan suhu
yang mencapai overheat, dapat menyebabkan stres pada ternak, yang juga
berdampak pada produksi ternak menurun. Untuk itu penempatan breed ternak
di suatu daerah harus disesuaikan dengan kondisi sekitarnya, termasuk
mengetahui epidemiologi penyakit dan data spesies vektornya sehingga prevalensi
infeksi terhadap penyakit dapat diminimalkan.
2.3 Epidemiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Indonesia
BEF dilaporkan di
Indonesia pertama kali pada tahun 1978 dengan gejala klinis serta menimbulkan
kematian pada sapi dewasa. Setelah itu kasus BEF banyak dilaporkan, dan tingkat
kematian saat itu mencapai 73% di Jawa Timur. Tingginya angka kematian tersebut
dimungkinkan karena merupakan kasus BEF pertama, atau merupakan komplikasi
dengan infeksi bakteri Hemorrhagic Septicaemia (HS) (Ronohardjo dan
Rastiko 1982).
Hasil serologis pada sapi di beberapa daerah di Indonesia telah
dilaporkan oleh Daniels et al. (1992), yang menyatakan bahwa prevalensi reaktor
BEF hingga tahun 1992 bevariasi untuk tiap daerah, namun rata-rata prevalensi
adalah 24%, seperti terlampir pada Tabel 2.1.
Tabel
2.1 Hasil serologis infeksi BEF pada sapi di beberapa provinsi di
Indonesia dengan menggunakan uji serum netralisasi tahun 1986-1992.
Provinsi
|
Jumlah
sampel
|
Reaktor
(%)
|
Aceh
|
55
|
11
(20%)
|
Lampung
|
55
|
18
(33%)
|
Jawa
Barat
|
40
|
11
(28%)
|
Jawa
Tengah
|
55
|
14
(25%)
|
Jawa
Timur
|
24
|
9
(38%)
|
Bali
|
47
|
6
(13%)
|
Nusa
Tenggara Barat
|
55
|
15
(27%)
|
Nusa
Tenggara Timur
|
29
|
8
(28%)
|
Kalimantan
Selatan
|
55
|
14
(25%)
|
Sulawesi
Utara
|
39
|
7
(18%)
|
Sulawesi
Selatan
|
18
|
3
(17%)
|
Papua
Barat
|
55
|
9
(16%)
|
Total
|
527
|
125
(24%)
|
Sumber:
Daniels et al. (1992)
Setelah tahun
1992, tidak ada laporan resmi tentang infeksi BEF. Dalam kurun waktu tersebut
infeksi BEF mulai mereda atau meningkat, tidak diketahui dengan
pasti.Berdasarkan pengamatan klinis di lapang yang dilakukan oleh para dokter
hewan baik dari Dinas Peternakan maupun pihak swasta, gejala klinis yang mirip
dengan BEF sering ditemukan pada sapi. Namun konfirmasi secara serologis tidak
pernah dilakukan. Sementara penelitian BEF yang dilakukan pada tahun 2012,
menunjukkan bahwa angka prevalensi reaktor bervariasi mulai dari 0 hingga 44%
di lima lokasi dari tiga provinsi di Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan DKI
Jakarta (Sendow unpublished data).
Di Indonesia,
penelitian mengenai vektor penyakit BEF belum pernah dilaporkan, namun hasil
studi longitudinal yang dilakukan oleh Sukarsih et al. (1993), menunjukkan
bahwa C. brevitarsis, C. oxystoma, A. bancroti telah banyak ditemukan
(Sukarsih et al. 1993). Sementara di Israel, vektor BEF dan virus arbo yang
potensial dilaporkan oleh Braverman (2001), seperti Cx. Pipiens,
Ochlerotatus, Caspius Oc. Caspius, C. imicola, C. schultzei group dan C.
punctatus.
Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi populasi nyamuk vektor diantaranya perubahan iklim, lingkungan dan
ekologi seperti kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Telah dilaporkan
sebelumnya bahwa BEF lebih banyak terjadi pada daerah beriklim panas dengan
kelembaban tinggi (Yeruham et al. 2002; 2010; Thomson dan Connor 2000). Indonesia
termasuk daerah iklim tropis dan negara kepulauan yang luas dengan iklim yang
bervariasi, mempunyai variasi biodiversitas termasuk populasi vektor di
masingmasing daerah yang sangat beragam.Akibatnya perpindahan vektor dan ternak
sangat sering terjadi, dan dapat berakibat pada meningkatnya prevalensi
penyakit.Di negara empat musim, perubahan cuaca seperti overwintering,
menyebabkan terjadinya kenaikan populasi vektor yang dapat menyebabkan
terjadinya wabah BEF di negara yang bersangkutan (Yeruham et al. 2002; 2007).
2.4 Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan akibat infeksi BEF antara lain demam
tinggi dan mendadak,yang dapat mencapai 41-42°C, nafsu makan berkurang, lemas,
kelumpuhan, lakrimasi, leleran hidung, kekakuan terutama pada sendi-sendi
sehingga tidak dapat berdiri (Momtaz et al. 2012). Pada sapi yangsedang
laktasi, infeksi BEF dapat menyebabkan produksi susu berhenti total dan kembali
berlaktasi setelah sembuh meskipun produksi susu tidak dapat kembali normal
seperti sebelum terinfeksi. Lebih
lanjut, penurunan produksi susu dapat berkisar antara 34-95% dengan rata-rata
46% (Momtaz et al. 2012).
Gejala klinis pada sapi betina
bunting menyebabkan abortus, sedangkan pada sapi jantan dapatmenyebabkan sterilitas
sementara. Hal ini berakibat pada gagalnya reproduksi ternak baik melalui inseminasi
buatan maupun kawin alami. Pada kasus tertentu dapat menimbulkan kematian dalam
1-4 hari setelah mengalami kelumpuhan (Nandi dan Negi1999), namun ternak dapat
sembuh spontan setelah 3 hari, yang dapat mencapai 97% dari kasus klinis. Komplikasi
penyakit ini dapat menimbulkan pneumonia, mastitis, abortus atau pada pejantan menimbulkan
sterilitas sementara (Davies et al. 1984;1990).
2.5 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan
penyakit ini dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi BEF atau mengontrol
populasi nyamuk vektor. Namun cara kedua ini sangatlah sulit, mengingat
masing-masing jenis nyamuk mempunyai media perkembangbiakan yang berbeda.
Selain itu,pengaruh cuaca atau iklim sangat besar terhadap perkembang biakan
vektor (Nandi dan Negi 1999). Pemberian vaksin BEF dapat mengurangi kasus yang ada,
namun perlu dipelajari epidemiologi daerah setempat sehingga pemberian vaksin dapat
menjadi lebih optimal.
Hingga saat ini
terdapat dua macam vaksin BEF yang beredar, yaitu vaksin mati dan vaksin hidup
yang telah diatenuasi. Vaksin mati memiliki kelemahan dalam menggertak respon
imun, sehingga mulai banyak digunakan vaksin yang telah diatenuasi.
Pengobatan
tidak efektif, namun pemberian antibiotik, anti inflamasi, pemberian cairan
dinilai cukup efektif untuk mengurangi terjadinya infeksi sekunder, yang dapat
memperparah kondisi hewan, dan dapat berakibat fatal. Di daerah endemik,
vaksinasi BEF tidak banyak berpengaruh terhadap pencegahan infeksi BEF.
Vaksinasi BEF dapat diberikan padaternak yang belum mempunyai kekebalan
terhadap BEF namun rawan terhadap infeksi BEF. Pada umumnya vaksinasi dapat
diberikan pada sapi umur di atas tiga bulan hingga dewasa.
Di Indonesia, vaksin
BEF belum beredar, namun kasus BEF telah banyak dilaporkan dan reaktor terhadap
infeksi BEF telah pula dilaporkan (Daniels etal.1992). Oleh karena itu, perlu
dipikirkan apakah pemberian vaksin BEF perlu dilakukan untuk mengurangi
kasus.Selain itu perlu adanya studi untuk mengetahui sampai sejauh mana dampak
yang ditimbulkan akibat infeksi BEF bagi kesejahteraan peternak.
Umumnya kasus
BEF yang ada di Indonesia, sering mengalami komplikasi dengan infeksi bakteri seperti
Haemorrhagic Septicaemia (HS). Hal ini telah dilaporkan oleh Ronohardjo
dan Rastiko (1982) pada kasus BEF di Jawa Timur. Adanya infeksi HS akan memperparah
kondisi sapi tersebut, sehingga vaksinasi HS sangat dianjurkan, mengingat
infeksi tunggal BEF jarang menimbulkan kematian. Pemberian vaksin HS ini juga
berdampak pada penurunan angka kematian pada sapi.
Selain
pemberian vaksin BEF, manajemen yang baik perlu diterapkan dimana sanitasi
kandang dan lingkungan harus diperhatikan, jumlah ternak pada satu kandang
tidak terlalu padat dan alur pembuangan airdan kotoran yang baik. Kondisi
tersebut dapat meminimalkan media perkembangbiakan nyamuk vektor dan penyebaran
infeksi BEF pada ternak(Yeruham et al. 2003; 2007).Selain itu sistem karantina
yang ketat perlu diterapkan agar lalu lintas ternak dapat dikontrol.
BAB III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Data populasi dan terjadinya Bovine Ephemeral Fever ( BEF) di Kabupaten Badung yang di dapat
di Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dapat dilihat pada
Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Jenis
penyakit dan Jumlah Kasus di Kabupaten Badung tahun 2008-2012
No
|
Th.
|
Jenis penyakit Dan
Jumlah Kasus
|
||||||||||
BEF
|
BVD
|
Hog cholera
|
colibacillosis
|
ND
|
BZ
|
Scabies
|
Streptococus
|
Px Lain
|
||||
Babi
|
Sapi
|
Babi
|
Sapi
|
|||||||||
1.
2.
3.
4.
5.
|
2008
2009
2010
2011
2012
|
744
794
813
1.010
998
|
146
206
168
34
14
|
-
149
235
168
100
|
2.655
2.464
2.203
2.444
2.987
|
-
-
-
62
23
|
-
42
-
-
-
|
260
181
246
206
244
|
1.039
1.117
1.147
1.468
2.331
|
181
140
237
155
123
|
1.067
1.128
1.585
1.623
1.570
|
1.092
1.223
825
545
716
|
JUMLAH
|
4.359
|
568
|
652
|
12.753
|
85
|
42
|
1.137
|
7.102
|
836
|
6.973
|
4.401
|
|
Presentase
|
11.2
|
1.45
|
1.6
|
32.77
|
0.2
|
0.1
|
2.9
|
18.25
|
2.14
|
17.92
|
11.31
|
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Badung (2012).
Gambar 3.1. Prevalensi Jumlah Kejadian Penyakit di Kabupaten
Badung tahun 2008-2012
Tabel 3.2. Data penyakit Bovine Ephemeral Fever ( BEF) di Kabupaten Badung tahun
2008-2012
No
|
Tahun
|
Populasi
|
Kasus
|
1
|
2008
|
65.671
|
744
|
2
|
2009
|
65.118
|
794
|
3
|
2010
|
67.390
|
813
|
4
|
2011
|
48.049
|
1.010
|
5
|
2012
|
49.051
|
998
|
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Badung (2012).
Gambar 3.2. Jumlah Kejadian Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) mulai tahun 2008-2012
Tabel 3.3. Perbandingan Populasi dan Kasus Bovine
Ephemeral Fever (BEF) di Berbagai Kecamatan yang ada di Kabupaten Badung
tahun 2011 dan 2012
No
|
Kecamatan
|
2011
|
2012
|
||||
Populasi
|
Kasus
|
Prevalensi
|
Populasi
|
Kasus
|
Prevalensi
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Kuta
Selatan
Kuta
Kuta
Utara
Mengwi
Abiansemal
Petang
|
14.158
808
2.662
7.224
9.104
14.093
|
122
16
4
119
328
412
|
0.86
1.98
0.15
1.65
3.60
2.92
|
14.471
738
2.506
7.417
9.439
14.480
|
112
35
7
85
391
368
|
0.77
4.74
0.28
1.15
4.14
2.54
|
Jumlah
|
48.049
|
1.001
|
2.08
|
49.051
|
998
|
2.03
|
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Badung (2012).
Gambar 3.3.Perbandingan Jumlah Kasus Per Kercamatan Bovine Ephemeral Fever (BEF) tahun
2011-2012
Gambar 3.4. Perbandingan Prevalensi Jumlah Kasus Per
Kercamatan Bovine Ephemeral Fever (BEF)
tahun 2011-2012
3.2 Pembahasan
Kejadian Bovine Ephemeral Fever (BEF) jika
dihitung berdasarkan berbagai aspek antara lain sebagai berikut :
v Ratio
adalah perbandingan jumlah satu penyakit dengan penyakit lain yang tidak
berhubungan di Kabupaten Badung pada tahun 2008-2012.
v Prevalensi Bovine
Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 adalah :
%
v Prevalensi Bovine
Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 per kecamatan
yang ada di Kabupaten Badung.
Contoh :
v Ratio kejadian penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) yang
terjadi pada tahun 2011 dan 2012 di kecamatan dengan kasus tetinggi dan
terendah yang ada di Kabupaten Badung.
v Ratio pada tahun 2011
Kecamatan
|
Jumlah kasus positif
|
Jumlah kasus negatif
|
Abiansemal
|
328
|
8776
|
Kuta Utara
|
4
|
2658
|
Kesimpulan: Terdapat
perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara ratio kejadian penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) 2011
pada sapi di kecamatan Abiansemal dengan ratio kejadian penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) pada
sapi yang ada di kecamatan Kuta Utara.
v Ratio pada tahun 2012
Kecamatan
|
Jumlah kasus positif
|
Jumlah kasus negatif
|
Kuta
|
35
|
703
|
Kuta Utara
|
7
|
2499
|
Kesimpulan: Terdapat
perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara ratio kejadian penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) 2012
pada sapi di kecamatan Kuta dengan ratio kejadian penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) pada
sapi yang ada di kecamatan Kuta Utara.
Data yang diperoleh dari Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung hanya menunjukkan jumlah kasus yang
muncul, sedangkan umur ternak yang menderita dan waktu pendataan yang lebih
terperinci tidak tertera. Dari total semua kasus yang ada di kabupaten
badung dapat dilihat bahwa Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan kasus
tertinggi keempat setelah Colibacillosis, Scabies, dan Streptococcus. Presentase
jenis penyakit dan jumlah kasus pada tahun 2008-2012 di Kabupaten Badung dapat dihitung
dengan ratio prevalensi dengan hasil antara lain BEF 11,2% , BVD 1,45%, Hog
cholera 1,67% , colibacillosis 32,99%, ND 0,1% , BZ 2,92% , scabies 20,4% ,
streptococcus 17,92% dan penyakit lainya
11,31%.
Jika dirinci lebih lanjut per tahun, maka prevalensi
Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Kabupaten Badung
pada tahun 2008 = 1,13%, tahun 2009 = 1,21%, tahun 2010 = 1,2%, tahun 2011 =
2,1 dan pada tahun 2012 = 2,03%. Jika dilihat dari prevalensi yang ada, dapat dikatakan
bahwa prevalensi BEF terbilang rendah. Akan tetapi hal ini juga perlu
penanganan yang baik dan intensif karena dilihat dari data yang ada mulai tahun
2008 penyakit ini mengalami kenaikan jumlah kasus, meski pada tahun 2012 sudah
mengalami sedikit penurunan. Penanganan yang baik perlu dilakukan karena sapi
bali merupakan salah satu komoditi ternak warga yang menguntungkan.
Prevalensi Bovine Ephemeral Fever
(BEF) yang terjadi pada tahun
2011 dan 2012 terbagi dalam 6 kecamatan
di kabupaten Badung didapatkan hasil prevalensi yang berbeda-beda, Pada tahun
2011 di kecamatan Kuta Selatan 0,86% , Kuta 1,98%,
Kuta Utara 0,18%, Mengwi 1,65%, Abiansemal 3,60%, Petang 2,92%. Sedangkan prevalensi per kecamatan pada tahun
2012 antara lain Kuta Selatan 0,77% , Kuta 4,74% ,
Kuta Utara 0,28%, Mengwi 1,15%, Abiansemal 4,14%, Petang 2,54%. Data ini menunjukkan bahwa jumlah kejadian kasus
per kecamatan pada tahun 2011 dan 2012 ada yang mengalami peningkatan kasus dan
sebagian yang lain mengalami penurunan kasus. Tiga kecamatan yang mengalami
peningkatan kasus terjadi di kecamatan Kuta, Kuta Utara, dan Abiansemal,
sedangkan tiga kecamatan yang mengalami penurunan kasus antara lain Kuta
Selatan, Mengwi, dan Petang.
Ratio
yang dibuat mencakup jumlah kejadian kasus tertinggi dan terendah yang terjadi
pada tahun 2011 dan 2012. Ratio yang dilihat apakah terjadi perbedaan yang
nyata antara dua kecamatan tertinggi dan terendah pada dua tahun tersebut. Kejadian tertinggi
pada tahun 2011 terjadi di kecamatan Abiansemal, sedangkan yang terendah
terjadi di kecamatan Kuta Utara. Setelah di uji lebih lanjut kejadian
penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) di kecamatan Abiansemal
pada tahun 2011 tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi yang ada di kecamatan Kuta Utara. Sedangkan pada tahun 2012 kejadian
tertinggi terjadi di kecamatan Kuta, dan yang terendah terjadi di kecamatan
Kuta Utara. Pada tahun ini Terdapat perbedaan yang
sangat nyata (P<0.01) antara kejadian penyakit penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada
sapi di kecamatan abiansemal dengan kejadian penyakit penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada
sapi yang ada di kecamatan kuta. Hal
ini mungkin karena kelalaian dari pihak dinas terkait karena tahun 2011 di kec.
Kuta dari 16 kasus yang ada menjadi 35 kasus di 2012.
Tindakan
yang dilakukan oleh Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Badung
untuk menanggulangi Bovine Ephemeral
Fever (BEF) adalah dengan melakukan pengobatan jika ada laporan kasus dari
warga atau peternak yang sapinya mengalami gejala terjangkit BEF, Selain itu
pihak dinas juga melakukan penyuluhan mengenai penyakit strategis yang sering
terjadi di Kabupaten Badung.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Dari data yang didapat di Dinas
Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dapat disimpulkan beberapa
hal, antara lain :
1.
Bovine Ephemeral Fever (BEF) disebabkan oleh virus
RNA yang diperantarai oleh vektor dalam penyebarannya.
2.
Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) mengalami peningkatan prevalensi jumlah kasus
mulai tahun 2008 sampai tahun 2011, namun terjadi penurunan pada tahun 2012.
3.
Penanganan yang dilakukan oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dengan pemberian antibiotik
dan anti inflamasi untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
4.2. Saran
Perlu adanya kerjasama dari
masyarakat dan pemerintah dalam menangani kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) agar kejadian setiap
tahunnya berkurang, sehingga kasus BEF di Bali dapat diminimalisir. Serta perlu
penangan yang lebih terhadap daerah Abiansemal dan Petang yang hampir setiap
tahun mempunyai tingkat prevalensi penyakit BEF yang cukup tinggi. Pemberian
vaksinasi pada kedua daerah ini dirasa perlu karena berdasarkan data yang ada
diduga merupakan daerah endemik BEF.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Elzein EM, Al-Afaleq AI, Housawi MF, Al-Basheir AM. 2006. Study on Bovine Ephemeral Fever involving
sentinel herds and sero-surveillance in Saudi Arabia. Rev Sci Tech. OIE 25:1147-1151.
Braverman Y. 2001. The
vectors of Bovine Ephemeral Fever, akabane and bluetongue viruses in Israel.
In: 13th Symposium of Dairy Cattle Science. Isr Zichron Yaakov. p.
81-82.
Daniels PW, Soleha E, Sendow I, Sukarsih. 1992. Bovine Ephemeral Fever in Indonesia. In:
St George TD, Uren MF, Young PL, Hoffmann D, editors. Proceedings of the 1st
International Symposium on Bovine Ephemeral Fever and Related Rhabdoviruses.
Beijing, 25-27 August 1992. Canberra (Aust): Australian Centre for
International Agricultural Research.
Davies SS, Gibson DS, Clark R. 1984. The efect of bovine ephemeral fever on milk production. Aust Vet J.
61:128-129.
Davies FG, Ochieng P, Walker AR. 1990. The occurrence of ephemeral fever in Kenya. 1968-1988. Vet
Microbiol. 22:129-136.
Della-Porta AJ, Brown F. 1979. The
physiochemical and chemical characterization of Bovine Ephemeral Fever.
Hsieh YC, Chen SH, Chou CC, Ting LJ, Itakura C, Wang FI. 2005. Bovine Ephemeral Fever in Taiwan (2001-
2002). J Vet Med Sci. 67:411-416.
Kato T, Aizawa M, Takayoshi K, Kokuba T, Yanase T, Shirafuji H,
Tsuda T, Yamakawa M. 2009. Phylogenetic
relationships of the G gene sequence of Bovine Ephemeral Fever virus isolated
in Japan, Taiwan and Australia. Vet Microbiol. 137:217-223.
Momtaz H, Nejat S, Moazeni M, Riahi M. 2012. Molecular epidemiology of Bovine Ephemeral Fever virus in cattle and
buffaloes in Iran.Revue Méd Vét.163:415- 418.
Nandi S, Negi BS. 1999. Bovine
Ephemeral Fever: a review. comparative immunology. Microbiol Infect Dis.
22:81-91.
Ronohardjo P, Rastiko P. 1982. Some
epidemiological aspects and economic loss of Bovine Ephemeral Fever outbreak in
Tuban and surrounding areas East Java, Indonesia. Penyakit Hewan 14:25-29.
St. George TD. 1988. Bovine
Ephemeral Fever: a review. Trop Anim Health Prod. 20:194-202.virus as a member
of the family Rhabdoviridae. J Gen Virol. 4:99-112.
Sukarsih, Sendow I, Soleha E, Daniels PW. 1993. Longitudinal studies of Culicoides
associated with livestock in Indonesia. Proceedings 6th Symposium Arbovirus
Research in Australia. Brisbane (Australia): p. 203-209.
Thomson MCL, Connor SJ. 2000. Environmental
information systems for the control of arthropod vectors of disease. Med
Vet Entomol. 14:227-244.
Uren MF, St. George TD, Zakrzewski H. 1989. The effect of anti-inflammatory agents of the clinical expression of
Bovine Ephemeral Fever. Vet Microbiol. 19:99-111.
Virol J . isolated from mainland China, Taiwan, Japan, Turkey,
Israel and Australia. 9:268-275. http://www.virologyj.com/content/9/1/268.
Walker PJ. 2005. Bovine
Ephemeral Fever in Australia andthe world. Curr Top Microbiol Immunol.
292:57-80.
Yeruham I, Braverman Y, Yadin H, Van-Ham M, Chai D, Tiomkin D,
Frank D. 2002. Epidemiological
investigations of outbreaks of Bovine Ephemeral Fever in Israel. Vet Rec.
151:117-121.
Yeruham I, Van-Ham M, Bar D, Yadin H, Tiomkin D. 2003. Bovine Ephemeral Fever in dairy cattle herds
- economic aspects of 1999 outbreak in the Jordan Valley. Vet Rec.
153:180-182.
Yeruham I, Van-Ham M, Stram Y, Friedgut O, Yadin H, Mumcuoglu KY, Braverman
Y. 2010. Epidemiological investigation of
Bovine Ephemeral Fever outbreaks in Israel.Res Vet Med Int. Volume 2010,
Article ID 290541, 5 pages.Januari 2013.
Zheng FY, Qiu CQ. 2012. Phylogenetic
relationships of the glycoprotein gene of Bovine Ephemeral Fever virus.
BEF (Bovine Ephemeral Fever)/ Deman Tiga Hari.Studi Kasus
Reviewed by kangmaruf
on
3:20 PM
Rating:
No comments: