BEF (Bovine Ephemeral Fever)/ Deman Tiga Hari.Studi Kasus



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Sapi bali merupakan salah satu sumber daya genetik ternak asli Indonesia dan satu-satunya di dunia. Sebagai bangsa Indonesia tentunya kita merasa bangga, karena plasma nutfah sapi bali hanya terdapat di negara kita, sehingga perlu dikembangkan dan dilestarikan. Melalui pengembangan sapi bali disamping untuk pemuliabiakan dan pelestarian sumber daya alam juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, perluasan lapangan kerja, serta penyediaan protein hewani. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah pemasok sapi potong untuk kebutuhan daging nasional. Di samping untuk kebutuhan daging, permintaan sapi bibit dari luar bali cukup tinggi, baik nasional maupun luar negeri sampai saat ini belum bisa dipenuhi. Terkait hal tersebut, maka manajemen pemeliharaannya harus tersusun dengan baik, karena manajemen yang buruk akan berakibat timbulnya penyakit hewan yang tentunya menurunkan nilai ekonomis dari sapi
.
            Penyakit hewan merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh dalam usaha pengembangan ternak sebagai penghasil bahan pangan hewani. Umumnya penyakit hewan dapat dikategorikan sebagai penyakit non-infeksius dan penyakit infeksius (penyakit yang disebabkan oleh virus, bakterial, parasit dan jamur). Salah satu penyakit viral yang cukup penting dan banyak terjadi di Indonesia adalah penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF).

Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah salah satu penyakit virus arbo pada sapi dan kerbau, seperti Bostaurus, Bos indicus dan Bos javanicus. Pada ruminansia lainnya infeksi BEF biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Penyakit BEF sering juga disebut `three days sickness', stiff sickness, dengue fever of cattle, bovine epizootic fever dan lazy man's disease. Penyakit ini ditandai dengan demam selama tiga hari, kekakuan dan kelumpuhan, namun demikian dapat sembuh spontan dalam waktu tiga hari. Oleh karena itu, nama BEF atau demam tiga hari lebih sering digunakan (Yeruham et al. 2007; Zheng et al. 2011). Dari ciri-ciri diatas, maka hal ini akan sangat merugikan dan mempengaruhi kesejahteraan para peternak-peternak yang ada di Bali khususnya di kabupaten Badung.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.         Apa yang menyebabkan terjadinya Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali?
2.         Berapa tingkat prevalensi kejadian Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali di Kabupaten Badung?
3.         Apa saja tindakan dan pengobatan yang sudah dilakukan Dinas Peternakan kabupaten Badung untuk pencegahan Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali?

1.3 Tujuan
            Tujuan penulisan laporan ini adalah meningkatkan pengertian dan pemahaman tentang penyakit starategis pada hewan di Kabupaten Badung. Serta mengetahui tingkat prevalensi dan penyebab Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali. Selain itu juga untuk mengetahui tindakan yang sudah dilakukan Dinas Peternakan Kabupaten Badung untuk pencegahan dan pengobatan Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali.

1.4 Manfaat
            Manfaat yang diperoleh adalah mahasiswa dapat mengetahui tentang penyakit-penyakit hewan strategis di wilayah Kabupaten Badung khususnya penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali. Sehingga dapat dijadikan acuan dalam penanganan dan pengobatannya berdasarkan epidemiologi penyebaran dan kejadiannya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Etiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Bovine Ephemeral Fever disebabkan oleh virus BEF, yang termasuk dalam single stranded RNA, genus Ephemerovirus, family Rhabdoviridae. Virus ini mempunyai besaran antara 80-140 nm, dan berbentuk seperti peluru, mempunyai amplop, sehingga sensitf  terhadap diethylether dan sodium deoxycholate (St. George 1988). Pada suhu 48°C, virus BEF tetap aktif dalam darah. Virus ini juga dapat diinaktifkan pada suhu 56°C selama 10 menit atau 37°C selama 18 jam (Della Porta dan Brown 1979). Virus BEF tidak aktif pada pH 2,5 atau pH 12,0 selama 12 menit. Hasil karakterisasi isolat BEF dari beberapa negara menunjukkan bahwa isolat BEF asal Jepang, Taiwan, Cina, Turki, Israel dan Australia, memiliki kesamaan gen yang conserve. Secara filogenetik, BEF memiliki kesamaan berdasarkan daerah/negara, yang terbagi dalam tiga kelompok klaster yaitu kelompok Asia, Australia dan Timur Tengah (Zheng dan Qiu 2012). Tidak ada perbedaan yang jelas antara strain virus yang satu dengan yang lain, meskipun di Australia, isolat virus BEF yang diperoleh dari nyamuk berbeda dengan yang diperoleh dari ternak sapi yang terinfeksi. Isolat yang diperoleh hanya membedakan antara virus BEF virulen dan avirulen (Kato et al. 2009).


2.2 Epidemiologi Penyakit
Bovine Ephemeral Fever (BEF), dilaporkan di beberapa Negara dalam beberapa tahun terakhir, antara lain Israel (Yeruham et al. 2002; 2005; 2010), Taiwan (Hsieh et al. 2005), Cina (Qiu et al. 2010; Zheng et al. 2009; Zhao et al. 2008), Jepang (Ogawa 1992), Australia (Uren et al. 1989), Saudi Arabia (Abu Elzein et al. 2006), Iran (Abu Elzein et al. 2006), Mesir (Zaher dan Ahmed 2011), Afrika (Davies et al. 1990; Walker 2005) dan Indonesia (Daniels et al. 1992; Ronohardjo dan Rastiko 1982). Serum yang positif  BEF paling banyak ditemukan di Afrika, tidak ditemukan di beberapa negara seperti Eropa, Amerika Utara dan Selatan atau Selandia Baru (Walker 2005). Umumnya, penyakit ini menyebar akibat perpindahan ternak terinfeksi dan vektornya (Yeruham et al. 2007). Perpindahan vektor dapat disebabkan oleh perubahan iklim atau terganggunya ekologi lingkungan. Perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan jumlah populasi vektor/nyamuk. Kasus BEF dapat overheat shoers produksi ternak. Selain itu, perubahan iklim juga dapat berdampak terhadap peningkatan populasi vektor yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kasus BEF pada ternak. Sebaliknya, peningkatan suhu yang mencapai overheat, dapat menyebabkan stres pada ternak, yang juga berdampak pada produksi ternak menurun. Untuk itu penempatan breed ternak di suatu daerah harus disesuaikan dengan kondisi sekitarnya, termasuk mengetahui epidemiologi penyakit dan data spesies vektornya sehingga prevalensi infeksi terhadap penyakit dapat diminimalkan.


2.3 Epidemiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Indonesia
BEF dilaporkan di Indonesia pertama kali pada tahun 1978 dengan gejala klinis serta menimbulkan kematian pada sapi dewasa. Setelah itu kasus BEF banyak dilaporkan, dan tingkat kematian saat itu mencapai 73% di Jawa Timur. Tingginya angka kematian tersebut dimungkinkan karena merupakan kasus BEF pertama, atau merupakan komplikasi dengan infeksi bakteri Hemorrhagic Septicaemia (HS) (Ronohardjo dan Rastiko 1982).

Hasil serologis pada sapi di beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1992), yang menyatakan bahwa prevalensi reaktor BEF hingga tahun 1992 bevariasi untuk tiap daerah, namun rata-rata prevalensi adalah 24%, seperti terlampir pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Hasil serologis infeksi BEF pada sapi di beberapa provinsi di Indonesia dengan menggunakan uji serum netralisasi tahun 1986-1992.
Provinsi
Jumlah sampel
Reaktor (%)
Aceh
55
11 (20%)
Lampung
55
18 (33%)
Jawa Barat
40
11 (28%)
Jawa Tengah
55
14 (25%)
Jawa Timur
24
9 (38%)
Bali
47
6 (13%)
Nusa Tenggara Barat
55
15 (27%)
Nusa Tenggara Timur
29
8 (28%)
Kalimantan Selatan
55
14 (25%)
Sulawesi Utara
39
7 (18%)
Sulawesi Selatan
18
3 (17%)
Papua Barat
55
9 (16%)
Total
527
125 (24%)
Sumber: Daniels et al. (1992)
Setelah tahun 1992, tidak ada laporan resmi tentang infeksi BEF. Dalam kurun waktu tersebut infeksi BEF mulai mereda atau meningkat, tidak diketahui dengan pasti.Berdasarkan pengamatan klinis di lapang yang dilakukan oleh para dokter hewan baik dari Dinas Peternakan maupun pihak swasta, gejala klinis yang mirip dengan BEF sering ditemukan pada sapi. Namun konfirmasi secara serologis tidak pernah dilakukan. Sementara penelitian BEF yang dilakukan pada tahun 2012, menunjukkan bahwa angka prevalensi reaktor bervariasi mulai dari 0 hingga 44% di lima lokasi dari tiga provinsi di Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta (Sendow unpublished data).

Di Indonesia, penelitian mengenai vektor penyakit BEF belum pernah dilaporkan, namun hasil studi longitudinal yang dilakukan oleh Sukarsih et al. (1993), menunjukkan bahwa C. brevitarsis, C. oxystoma, A. bancroti telah banyak ditemukan (Sukarsih et al. 1993). Sementara di Israel, vektor BEF dan virus arbo yang potensial dilaporkan oleh Braverman (2001), seperti Cx. Pipiens, Ochlerotatus, Caspius Oc. Caspius, C. imicola, C. schultzei group dan C. punctatus.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi populasi nyamuk vektor diantaranya perubahan iklim, lingkungan dan ekologi seperti kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa BEF lebih banyak terjadi pada daerah beriklim panas dengan kelembaban tinggi (Yeruham et al. 2002; 2010; Thomson dan Connor 2000). Indonesia termasuk daerah iklim tropis dan negara kepulauan yang luas dengan iklim yang bervariasi, mempunyai variasi biodiversitas termasuk populasi vektor di masingmasing daerah yang sangat beragam.Akibatnya perpindahan vektor dan ternak sangat sering terjadi, dan dapat berakibat pada meningkatnya prevalensi penyakit.Di negara empat musim, perubahan cuaca seperti overwintering, menyebabkan terjadinya kenaikan populasi vektor yang dapat menyebabkan terjadinya wabah BEF di negara yang bersangkutan (Yeruham et al. 2002; 2007).

2.4 Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan akibat infeksi BEF antara lain demam tinggi dan mendadak,yang dapat mencapai 41-42°C, nafsu makan berkurang, lemas, kelumpuhan, lakrimasi, leleran hidung, kekakuan terutama pada sendi-sendi sehingga tidak dapat berdiri (Momtaz et al. 2012). Pada sapi yangsedang laktasi, infeksi BEF dapat menyebabkan produksi susu berhenti total dan kembali berlaktasi setelah sembuh meskipun produksi susu tidak dapat kembali normal seperti sebelum terinfeksi. Lebih lanjut, penurunan produksi susu dapat berkisar antara 34-95% dengan rata-rata 46% (Momtaz et al. 2012).





Gejala klinis pada sapi betina bunting menyebabkan abortus, sedangkan pada sapi jantan dapatmenyebabkan sterilitas sementara. Hal ini berakibat pada gagalnya reproduksi ternak baik melalui inseminasi buatan maupun kawin alami. Pada kasus tertentu dapat menimbulkan kematian dalam 1-4 hari setelah mengalami kelumpuhan (Nandi dan Negi1999), namun ternak dapat sembuh spontan setelah 3 hari, yang dapat mencapai 97% dari kasus klinis. Komplikasi penyakit ini dapat menimbulkan pneumonia, mastitis, abortus atau pada pejantan menimbulkan sterilitas sementara (Davies et al. 1984;1990).

2.5 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi BEF atau mengontrol populasi nyamuk vektor. Namun cara kedua ini sangatlah sulit, mengingat masing-masing jenis nyamuk mempunyai media perkembangbiakan yang berbeda. Selain itu,pengaruh cuaca atau iklim sangat besar terhadap perkembang biakan vektor (Nandi dan Negi 1999). Pemberian vaksin BEF dapat mengurangi kasus yang ada, namun perlu dipelajari epidemiologi daerah setempat sehingga pemberian vaksin dapat menjadi lebih optimal.

Hingga saat ini terdapat dua macam vaksin BEF yang beredar, yaitu vaksin mati dan vaksin hidup yang telah diatenuasi. Vaksin mati memiliki kelemahan dalam menggertak respon imun, sehingga mulai banyak digunakan vaksin yang telah diatenuasi.

Pengobatan tidak efektif, namun pemberian antibiotik, anti inflamasi, pemberian cairan dinilai cukup efektif untuk mengurangi terjadinya infeksi sekunder, yang dapat memperparah kondisi hewan, dan dapat berakibat fatal. Di daerah endemik, vaksinasi BEF tidak banyak berpengaruh terhadap pencegahan infeksi BEF. Vaksinasi BEF dapat diberikan padaternak yang belum mempunyai kekebalan terhadap BEF namun rawan terhadap infeksi BEF. Pada umumnya vaksinasi dapat diberikan pada sapi umur di atas tiga bulan hingga dewasa.

Di Indonesia, vaksin BEF belum beredar, namun kasus BEF telah banyak dilaporkan dan reaktor terhadap infeksi BEF telah pula dilaporkan (Daniels etal.1992). Oleh karena itu, perlu dipikirkan apakah pemberian vaksin BEF perlu dilakukan untuk mengurangi kasus.Selain itu perlu adanya studi untuk mengetahui sampai sejauh mana dampak yang ditimbulkan akibat infeksi BEF bagi kesejahteraan peternak.

Umumnya kasus BEF yang ada di Indonesia, sering mengalami komplikasi dengan infeksi bakteri seperti Haemorrhagic Septicaemia (HS). Hal ini telah dilaporkan oleh Ronohardjo dan Rastiko (1982) pada kasus BEF di Jawa Timur. Adanya infeksi HS akan memperparah kondisi sapi tersebut, sehingga vaksinasi HS sangat dianjurkan, mengingat infeksi tunggal BEF jarang menimbulkan kematian. Pemberian vaksin HS ini juga berdampak pada penurunan angka kematian pada sapi.

Selain pemberian vaksin BEF, manajemen yang baik perlu diterapkan dimana sanitasi kandang dan lingkungan harus diperhatikan, jumlah ternak pada satu kandang tidak terlalu padat dan alur pembuangan airdan kotoran yang baik. Kondisi tersebut dapat meminimalkan media perkembangbiakan nyamuk vektor dan penyebaran infeksi BEF pada ternak(Yeruham et al. 2003; 2007).Selain itu sistem karantina yang ketat perlu diterapkan agar lalu lintas ternak dapat dikontrol.



BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
   Data populasi dan terjadinya Bovine Ephemeral Fever ( BEF) di Kabupaten Badung yang di dapat di Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Jenis penyakit dan Jumlah Kasus di Kabupaten Badung tahun 2008-2012
No
Th.
Jenis penyakit Dan Jumlah Kasus
BEF
BVD
Hog cholera
colibacillosis
ND
BZ
Scabies
Streptococus
Px Lain
Babi
Sapi
Babi
Sapi
1.
2.
3.
4.
5.
2008
2009
2010
2011
2012
744
794
813
1.010
998
146
206
168
34
14
-
149
235
168
100
2.655
2.464
2.203
2.444
2.987
-
-
-
62
23
-
42
-
-
-
260
181
246
206
244
1.039
1.117
1.147
1.468
2.331
181
140
237
155
123
1.067
1.128
1.585
1.623
1.570
1.092
1.223
825
545
716
JUMLAH
4.359
568
652
12.753
85
42
1.137
7.102
836
6.973
4.401
Presentase
11.2
1.45
1.6
32.77
0.2
0.1
2.9
18.25
2.14
17.92
11.31
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung (2012).

Gambar 3.1. Prevalensi Jumlah Kejadian Penyakit di Kabupaten Badung tahun 2008-2012


Tabel 3.2. Data penyakit Bovine Ephemeral Fever ( BEF) di Kabupaten Badung tahun 2008-2012

No
Tahun
Populasi
Kasus
1
2008
65.671
744
2
2009
65.118
794
3
2010
67.390
813
4
2011
48.049
1.010
5
2012
49.051
998
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung (2012).
Gambar 3.2. Jumlah Kejadian Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) mulai tahun 2008-2012
Tabel 3.3. Perbandingan Populasi dan Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Berbagai Kecamatan yang ada di Kabupaten Badung tahun 2011 dan 2012
No
Kecamatan
2011
2012
Populasi
Kasus
Prevalensi
Populasi
Kasus
Prevalensi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kuta Selatan
Kuta
Kuta Utara
Mengwi
Abiansemal
Petang
14.158
808
2.662
7.224
9.104
14.093
122
16
4
119
328
412
0.86
1.98
0.15
1.65
3.60
2.92
14.471
738
2.506
7.417
9.439
14.480
112
35
7
85
391
368
0.77
4.74
0.28
1.15
4.14
2.54
Jumlah
48.049
1.001
2.08
49.051
998
2.03
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung  (2012).
Gambar 3.3.Perbandingan Jumlah Kasus Per Kercamatan Bovine Ephemeral Fever (BEF) tahun
2011-2012
Gambar 3.4. Perbandingan Prevalensi Jumlah Kasus Per Kercamatan Bovine Ephemeral Fever (BEF) tahun 2011-2012

3.2 Pembahasan
          Kejadian Bovine Ephemeral Fever (BEF) jika dihitung berdasarkan berbagai aspek antara lain sebagai berikut :
v  Ratio adalah perbandingan jumlah satu penyakit dengan penyakit lain yang tidak berhubungan di Kabupaten Badung pada tahun 2008-2012.

v  Prevalensi Bovine Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 adalah :
 %

v  Prevalensi Bovine Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 per kecamatan yang ada di Kabupaten Badung.
Contoh :

v  Ratio kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 di kecamatan dengan kasus tetinggi dan terendah yang ada di Kabupaten Badung.
v  Ratio pada tahun 2011

Kecamatan
Jumlah kasus positif
Jumlah kasus negatif
Abiansemal
328
8776
Kuta Utara
4
2658
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara ratio kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) 2011 pada sapi di kecamatan Abiansemal dengan ratio kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi yang ada di kecamatan Kuta Utara.

v  Ratio pada tahun 2012
Kecamatan
Jumlah kasus positif
Jumlah kasus negatif
Kuta
35
703
Kuta Utara
7
2499
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara ratio kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) 2012 pada sapi di kecamatan Kuta dengan ratio kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi yang ada di kecamatan Kuta Utara.

   Data yang diperoleh dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung hanya menunjukkan jumlah kasus yang muncul, sedangkan umur ternak yang menderita dan waktu pendataan yang lebih terperinci tidak tertera. Dari total semua kasus yang ada di kabupaten badung  dapat dilihat bahwa Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan kasus tertinggi keempat setelah Colibacillosis, Scabies, dan Streptococcus. Presentase jenis penyakit dan jumlah kasus  pada tahun  2008-2012 di Kabupaten Badung dapat dihitung dengan ratio prevalensi dengan hasil antara lain BEF 11,2% , BVD 1,45%, Hog cholera 1,67% , colibacillosis 32,99%, ND 0,1% , BZ 2,92% , scabies 20,4% , streptococcus 17,92%  dan penyakit lainya 11,31%. 

Jika dirinci lebih lanjut per tahun, maka prevalensi Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Kabupaten Badung pada tahun 2008 = 1,13%, tahun 2009 = 1,21%, tahun 2010 = 1,2%, tahun 2011 = 2,1 dan pada tahun 2012 = 2,03%. Jika dilihat dari prevalensi yang ada, dapat dikatakan bahwa prevalensi BEF terbilang rendah. Akan tetapi hal ini juga perlu penanganan yang baik dan intensif karena dilihat dari data yang ada mulai tahun 2008 penyakit ini mengalami kenaikan jumlah kasus, meski pada tahun 2012 sudah mengalami sedikit penurunan. Penanganan yang baik perlu dilakukan karena sapi bali merupakan salah satu komoditi ternak warga yang menguntungkan.

               Prevalensi Bovine Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012 terbagi dalam  6 kecamatan di kabupaten Badung didapatkan hasil prevalensi yang berbeda-beda, Pada tahun 2011 di kecamatan Kuta Selatan 0,86% , Kuta 1,98%, Kuta Utara 0,18%, Mengwi 1,65%, Abiansemal 3,60%, Petang 2,92%. Sedangkan prevalensi per kecamatan pada tahun 2012 antara lain Kuta Selatan 0,77% , Kuta 4,74% , Kuta Utara 0,28%, Mengwi 1,15%, Abiansemal 4,14%, Petang 2,54%. Data ini menunjukkan bahwa jumlah kejadian kasus per kecamatan pada tahun 2011 dan 2012 ada yang mengalami peningkatan kasus dan sebagian yang lain mengalami penurunan kasus. Tiga kecamatan yang mengalami peningkatan kasus terjadi di kecamatan Kuta, Kuta Utara, dan Abiansemal, sedangkan tiga kecamatan yang mengalami penurunan kasus antara lain Kuta Selatan, Mengwi, dan Petang.

            Ratio yang dibuat mencakup jumlah kejadian kasus tertinggi dan terendah yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012. Ratio yang dilihat apakah terjadi perbedaan yang nyata antara dua kecamatan tertinggi dan terendah  pada dua tahun tersebut. Kejadian tertinggi pada tahun 2011 terjadi di kecamatan Abiansemal, sedangkan yang terendah terjadi di kecamatan Kuta Utara. Setelah di uji lebih lanjut kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) di kecamatan Abiansemal pada tahun 2011 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kejadian penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)  pada sapi yang ada di kecamatan Kuta Utara. Sedangkan pada tahun 2012 kejadian tertinggi terjadi di kecamatan Kuta, dan yang terendah terjadi di kecamatan Kuta Utara. Pada tahun ini Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara kejadian penyakit penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)  pada sapi di kecamatan abiansemal dengan kejadian penyakit penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)  pada sapi yang ada di kecamatan kuta. Hal ini mungkin karena kelalaian dari pihak dinas terkait karena tahun 2011 di kec. Kuta dari 16 kasus yang ada menjadi 35 kasus di 2012.

               Tindakan yang dilakukan oleh Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Badung untuk menanggulangi Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah dengan melakukan pengobatan jika ada laporan kasus dari warga atau peternak yang sapinya mengalami gejala terjangkit BEF, Selain itu pihak dinas juga melakukan penyuluhan mengenai penyakit strategis yang sering terjadi di Kabupaten Badung. 

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


4.1.  Kesimpulan
          Dari data yang didapat di Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :
1.         Bovine Ephemeral Fever (BEF) disebabkan oleh virus RNA yang diperantarai oleh vektor dalam penyebarannya.
2.         Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) mengalami peningkatan prevalensi jumlah kasus mulai tahun 2008 sampai tahun 2011, namun terjadi penurunan pada tahun 2012.
3.         Penanganan yang dilakukan oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dengan pemberian antibiotik dan anti inflamasi untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
4.2.  Saran
        Perlu adanya kerjasama dari masyarakat dan pemerintah dalam menangani kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) agar kejadian setiap tahunnya berkurang, sehingga kasus BEF di Bali dapat diminimalisir. Serta perlu penangan yang lebih terhadap daerah Abiansemal dan Petang yang hampir setiap tahun mempunyai tingkat prevalensi penyakit BEF yang cukup tinggi. Pemberian vaksinasi pada kedua daerah ini dirasa perlu karena berdasarkan data yang ada diduga merupakan daerah endemik BEF.

 


DAFTAR PUSTAKA

Abu-Elzein EM, Al-Afaleq AI, Housawi MF, Al-Basheir AM. 2006. Study on Bovine Ephemeral Fever involving sentinel herds and sero-surveillance in Saudi Arabia. Rev Sci Tech. OIE 25:1147-1151.
Braverman Y. 2001. The vectors of Bovine Ephemeral Fever, akabane and bluetongue viruses in Israel. In: 13th Symposium of Dairy Cattle Science. Isr Zichron Yaakov. p. 81-82.
Daniels PW, Soleha E, Sendow I, Sukarsih. 1992. Bovine Ephemeral Fever in Indonesia. In: St George TD, Uren MF, Young PL, Hoffmann D, editors. Proceedings of the 1st International Symposium on Bovine Ephemeral Fever and Related Rhabdoviruses. Beijing, 25-27 August 1992. Canberra (Aust): Australian Centre for International Agricultural Research.
Davies SS, Gibson DS, Clark R. 1984. The efect of bovine ephemeral fever on milk production. Aust Vet J. 61:128-129.
Davies FG, Ochieng P, Walker AR. 1990. The occurrence of ephemeral fever in Kenya. 1968-1988. Vet Microbiol. 22:129-136.
Della-Porta AJ, Brown F. 1979. The physiochemical and chemical characterization of Bovine Ephemeral Fever.
Hsieh YC, Chen SH, Chou CC, Ting LJ, Itakura C, Wang FI. 2005. Bovine Ephemeral Fever in Taiwan (2001- 2002). J Vet Med Sci. 67:411-416.
Kato T, Aizawa M, Takayoshi K, Kokuba T, Yanase T, Shirafuji H, Tsuda T, Yamakawa M. 2009. Phylogenetic relationships of the G gene sequence of Bovine Ephemeral Fever virus isolated in Japan, Taiwan and Australia. Vet Microbiol. 137:217-223.
Momtaz H, Nejat S, Moazeni M, Riahi M. 2012. Molecular epidemiology of Bovine Ephemeral Fever virus in cattle and buffaloes in Iran.Revue Méd Vét.163:415- 418.
Nandi S, Negi BS. 1999. Bovine Ephemeral Fever: a review. comparative immunology. Microbiol Infect Dis. 22:81-91.
Ronohardjo P, Rastiko P. 1982. Some epidemiological aspects and economic loss of Bovine Ephemeral Fever outbreak in Tuban and surrounding areas East Java, Indonesia. Penyakit Hewan 14:25-29.
St. George TD. 1988. Bovine Ephemeral Fever: a review. Trop Anim Health Prod. 20:194-202.virus as a member of the family Rhabdoviridae. J Gen Virol. 4:99-112.
Sukarsih, Sendow I, Soleha E, Daniels PW. 1993. Longitudinal studies of Culicoides associated with livestock in Indonesia. Proceedings 6th Symposium Arbovirus Research in Australia. Brisbane (Australia): p. 203-209.
Thomson MCL, Connor SJ. 2000. Environmental information systems for the control of arthropod vectors of disease. Med Vet Entomol. 14:227-244.
Uren MF, St. George TD, Zakrzewski H. 1989. The effect of anti-inflammatory agents of the clinical expression of Bovine Ephemeral Fever. Vet Microbiol. 19:99-111.
Virol J . isolated from mainland China, Taiwan, Japan, Turkey, Israel and Australia. 9:268-275. http://www.virologyj.com/content/9/1/268.
Walker PJ. 2005. Bovine Ephemeral Fever in Australia andthe world. Curr Top Microbiol Immunol. 292:57-80.
Yeruham I, Braverman Y, Yadin H, Van-Ham M, Chai D, Tiomkin D, Frank D. 2002. Epidemiological investigations of outbreaks of Bovine Ephemeral Fever in Israel. Vet Rec. 151:117-121.
Yeruham I, Van-Ham M, Bar D, Yadin H, Tiomkin D. 2003. Bovine Ephemeral Fever in dairy cattle herds - economic aspects of 1999 outbreak in the Jordan Valley. Vet Rec. 153:180-182.
Yeruham I, Van-Ham M, Stram Y, Friedgut O, Yadin H, Mumcuoglu KY, Braverman Y. 2010. Epidemiological investigation of Bovine Ephemeral Fever outbreaks in Israel.Res Vet Med Int. Volume 2010, Article ID 290541, 5 pages.Januari 2013.
Zheng FY, Qiu CQ. 2012. Phylogenetic relationships of the glycoprotein gene of Bovine Ephemeral Fever virus.
BEF (Bovine Ephemeral Fever)/ Deman Tiga Hari.Studi Kasus BEF (Bovine Ephemeral Fever)/ Deman Tiga Hari.Studi Kasus Reviewed by kangmaruf on 3:20 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.