Hip Joint Dysplasia pada Hewan

Meningkatnya minat masyarakat terhadap kucing domestik maupun kucing piaraan telah memacu dokter hewan untuk mengoptimalkan kesehatan hewan ini. Dokter hewan harus mampu menggabungkan pemahaman mengenai penyebab penyakit, patogenesis, diagnosis, dan pengobatan untuk menjawab persoalan-persoalan rutin tentang kesehatan hewan. 

Sistem musculoskeletal memiliki arti yang sangat vital oleh karena secara primer sistem ini membuat hewan mampu berdiri dan bersama syaraf melawan gravitasi bumi untuk suatu gerakan melangkah. 

Sistem musculoskeletal terdiri atas tulang rangka atau skeleton, persendian-persendian dan sinsitium, tendo, ligamentum, dan otot-otot rangka atau otot skeleton. Salah satu gangguan muskuloskeletal yang kerap dialami kucing adalah hip dysplasia.

Hip dysplasia merupakan salah satu kelemahan sendi yang menyebakan ketidakharmonisan hubungan articulatio coxofemoralis. Dilaporkan sekitar 23% dari kasus ortopedic pada kucing adalah adalah permasalahan hip dysplasia. Kasus ini terjadi terutama pada ras persia, himalaya, devon rex, dan maine coon. 

Jenis kelamin tertentu pada anjing tidak mempengaruhi frekuensi kejadian penyakit ini. Berbeda dengan hewan, pada manusia 80% kasus hip dysplasia adalah wanita.  

Hip dysplasia terjadi akibat sebab genetik dan non genetik. Penyakit ini merupakan suatu ciri poligenic yang disebabkan oleh interaksi beratus-ratus gen, dimana masing-masing menyokong suatu bagian kecil pada penyakit tersebut. 

Sedikitnya satu pasang gen ini dipercaya menjadi recessive. Genotype menentukan rencana keturunan untuk bentuk pinggul, ukuran, hubungan anatomis, musculature, dan inervasi, juga suatu program untuk pertumbuhan dan perubahan bentuknya. Sekitar 17 - 36 persen keturunan dari hewan dysplastic akan menjadi normal dan 63 - 93 persen akan menjadi dysplastic. 

Sedangkan sebab non genetic meliputi kelemahan sendi, hormonal, nutrisi dan pertumbuhan, kalsium, vitamin D dan C, serta latihan (exercise).                        

Secara klinis hewan yang menderita hip dysplasia mengalami kepincangan pada kaki belakang, hewan sukar atau lambat merubah posisi dari bentuk rebah ke posisi berdiri, kadang-kadang hewan menunujukkan gejala meloncat-loncat dengan kaki belakang, selain bentuk tungkai belakangnya tidak lurus, melainkan berbentuk huruf X atau O. 

Kejadian hip dysplasia menimbulkan perubahan struktural progresif, seperti kelemahan sendi dan subluxation pada caput femoris; bengkak, peregangan, kerusakan, dan akhirnya terjadi ruptur pada ligament teres mayor, selain itu juga akan terjadi pendangkalan, perataan acetabulum dan kelainan bentuk dari caput femoris. 

Hip dysplasia mengakibatkan synovitis (radang pada lapisan synovial dari sendi panggul) yang disebabkan oleh meningkatnya volume cairan akibat osteoarthritis yang memengaruhi sendi, sehingga osteoarthritis juga dapat menjadi dasar diagnostik yang utama untuk hip dysplasia. 

Gambar hasil rontgen kasus osteoarthritis pada sendi panggul juga dapat menunjukkan adanya pertumbuhan tulang pada caput femoralis dan pendangkalan acetabulum. 

Untuk memahami hip dysplasia lebih lanjut, akan dipaparkan lebih lanjut mengenai hip dysplasia

Struktur Anantomi

Pinggul atau pangkal paha, atau sendi coxofemoralis adalah sendi diarthorial (bola dan rongga), antara caput (head) femur yang berada dalam acetabulum (acetabuli) dari pelvis. Wilayah permukaan dan jari-jari curvature dari permukaan artikuler acetabula melekat sesuai dengan permukaan artikuler dari caput femoris. 

Selanjutnya acetabulum diperdalam oleh labruma atau bibir acetabula, ikatan jaringan fibrocartilage yang memanjang dari lingkar acetabula dorsalis. 

Di ventralnya, struktur ini memanjang melewati tepi acetabuli sebagai ligament bebas, yang dikenal dengan ligamentum acetabula transversal. 

Acetabulum dibagi menjadi 2 bagian, cartilage artikuler (permukaan lunata/fossa lunata) yang ditutupi kira-kira 2-3 jumlah permukaan, yang terletak di dorsomedial dan fosaa acetabula, terletak di ventromedial dari ligamentum teres (dikenal juga sebagai ligamentum caput femur). 

Pada hewan normal, caput femoris dan colum (neck) femoris cenderung membentuk sebuah sudut pada femoral diaphysisnya sekitar 130-145 derajat dan juga anteversi nya sekitar 12-40 derajat
.
Menurut Fossum, (2002), ada beberapa sudut yang terbentuk pada pinggul yaitu :

Sudut inklinasi

Yaitu sudut yang dibentuk garis axis antara caput femur dan diaphysis femur pada bidang depan

Sudut Anteversi

Sudut yang dibentuk garis axis antara colum (neck) femur dan axis transcondylus.

Sudut Subluksasi

Sudut yang dibentuk antara femur dan pelvis saat pinggul diabduksikan

Sudut reduksi

Sudut yang dibentuk antara femur dan pelvis saat pinggul diadduksikan

Sudut Ventroversi

Sudut antara bidang vertical, dan permukaan dari lengkungan acetabulum

Hip Joint Dysplasia pada Hewan
(B). Sudut ventroversi. 7.5 derajat atau kurang normal, lebih dari 20 derajat positif. (C) sudut anteversi normal 12-45  derajat. (Sumber Fossum, 2002)
Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Sudut reduksi adalah titik dimana caput femur masuk kembali ke ruang acetabulum ketika pangkal kaki belakang diabduksi (kanan bawah). Dan Sudut subluksasi adalah titik dimana caput femur keluar dari ruang acetabulum ketika pangkal kaki belakang di adduksi (kiri). Nomral 60-80 derajat, < 60 abnormal. (sumber : Fossum, 2002)

Sendi pinggul utamanya distabilkan oleh intra-artikuler ligamentum teres dan kaspula sendi. Kemudian penstabil lainya termasuk labrum acetabula, otot gluteal, dan abdukttor dan adductor sendi pinggul. (illiopsoas, gemeli, quadriceps, dan otot obturator eksternal dan internal)

Suplai darah untuk caput femoris utamanya di suplai dari  sumber yaitu
  1. Suplai intraosseus (system metaphyseal). Mengalir pada bagian colum femur, dan pada hewan dewasa, memanjang pada jaringan physeal masuk ke caput femoris
  2. Sistem Epiphyseal, masuk melalui kapsula sendi lewat arteri fmoris circumlflec cranial dan caudal
Kerusakan pembuluh darah terutama pada system epiphyseal dapat mengakibatkan,iskemik pada caput femoris. 

Otot utama yang mengelilingi pinggul adalah otot gluteal (cranial, dan dorsal), obturator internal, dan gemeli (caudal), bicep femoris (caudal), vastus lateral (lateral) dan otot pectineus ventral. 

Saraf (nervus) Ischiatic (sciatic), serabut saraf menyebar pada wilayah dorsal dan caudal pada sendi dan sangat penting dikenali dan dilindungi  saat melakukan pembedahan, khususnya saat melakukan pemboran (drilling) acetabulum atau melakukan pendekatan sendi caudal.

Epidemiologi

Prevalensi hip-dysplasia keturunan ini diperkirakan oleh Orthopedic Foundation for Animals (OFA) bervariasi antara 10% sampai 48% kejadian. Hip dysplasia penyakit yang sangat umum dan menyerang kedua sendi pinggul. 

Penyakit ini dapat menyerang anjing dan kucing, dan beberapa diantaranya hanya sedkit atau tanpa menunjukan tanda klinis. Hip dysplasia menyerang semua ras anjing, namun prevalensi lebih tinggi dilaporkan menyerang anjing ras besar dan giant breed. 

Sedangkan pada kucing, prevalensi tinggi terjadi pada kucing maine coon, persia, devon rex, dan himalaya, namun kondisisnya tidak selalu simptomatis (terlihat gejalanya). Dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada predisposisi penyakit ini.

Biasanya, peningkatan kelemahan pinggul dan beberapa ketimpangan akan terlihat jelas pada usia 3-8 bulan, seperti sambungan subluxation pada pinggul yang dysplasia akan mengakibatkan osteoarthritis. 

Ini awal gangguan  yang berkaitan dengan synovitis (radang pada lapisan dari sendi), effusion (peningkatan volume cairan synovial), sakit pada sambungan subchondral. 

Osteoarthritic pada gambar hasil rontgen tidak sulit dilihat sampai hewan berumur satu tahun atau lebih, walaupun mereka telah terdeteksi sejak usia 6 bulan.

Etiologi Hip dysplasia

Hip joint dysplasia atau Hip dysplasia adalah penyakit turunan (genetis/hetediter) yang berhubungan dengan pekembangan sendi pinggul, dan ditandai dengan lemahnya (bergesernya) sendi pinggul dan terbentuknya osteoarthritis. 

Sedangkan menurut fossum, (2002) Hip dysplasia adalah perkembangan abnormal sendi coxofemoralis yang ditandai dengan subluksasi atau luksasi komplit (dislokasi), pada caput femur/femoris pada hewan muda, dan dikuti degenerasi ringan sampai berat pada hewan yang lebih tua. 

Hip dysplasia dapat terjadi unilateral (salah satu kaki) atau bilateral (kedua kaki). Sendi coxofemoralis dikatakan mengalami luksasi jika terjadi pemisahan sempurna antara caput femur dan acetabulum, dan dikatakan mengalami subluksasi jika hanya mengalami pelepasan atau pergeseran kecil.

Menurut Morgan, (2008) faktor Penyebab hip dysplasia melitputi 2 hal yaitu :

Faktor Genetik

Hip-dysplasia pada hewan merupakan salah satu penyakit yang dapat diturunkan, perkecualian pada trauma neonatal. 

Penyakit ini merupakan suatu ciri poligenic yang disebabkan oleh interaksi beratus-ratus gen, dimana masing-masing menyokong suatu bagian kecil pada penyakit tersebut. Sedikitnya satu pasang gen ini dipercaya menjadi recessive. 

Hal ini menjadi suatu ciri additive dimana keparahan dari suatu penyakit individu ditentukan oleh banyaknya gen "terpengaruh" yang muncul. Genotype menentukan rencana keturunan untuk bentuk pinggul, ukuran, hubungan anatomis, musculature, dan inervasi, juga suatu program untuk pertumbuhan dan perubahan bentuknya. 

Sekitar 17 - 36 persen keturunan dari hewan dysplastic akan menjadi normal dan 63 - 93 persen akan menjadi dysplastic.

Hip-dysplasia adalah mempunyai ciri kuantitatif atau kompleks yang merupakan rangkaian dari tak dapat dilihat (tanpa gejala klinis) sampai yang parah. 

Hal ini merupakan kaitan antara pengaruh lingkungan (seperti gizi dan latihan, dan yang lain) dengan konstitusi genetik yang mempengaruhi derajat abnormalitas tersebut dapat terlihat. 

Ekspresi gen ini mungkin telah dimodifikasi oleh sejumlah faktor lingkungan, namun faktor lingkungan tidak menyebabkan hip-dysplasia, tetapi mereka boleh menentukan apakah hal tersebut dapat memenculkan gejala klinis dan besaran derajat tingkat keparahannya. 

Sebagai contoh, dimana hewan yang membawa gen untuk hip-dysplasia jika diberi makan suatu diet bersifat protektif secara fenotip bisa tampak normal setelah usia delapan tahun.

Faktor Nongenetik

a.  Kelemahan Sendi

Kelemahan sendi merupakan faktor yang signifikan dalam patogenesis hip-displasia, ini terjadi sebelum perubahan karakteristik bentuk dan perubahan degeneratif berlangsung. 

Kejadian ini dapat dicegah dengan memelihara kongruensi sendi sampai hewan berumur enam bulan ketika tulang rangka dan struktur pendukung cukup kuat untuk mencegah subluxation. 

Kasus hip-dysplasia kongenital pada anak hewan tidak akan berkembang menjadi penyakit ketika hewan tersebut ditaruh pada sangkar kecil yang memaksanya untuk duduk tenang.

Disamping bukti ini, kelemahan sendi menjadi isu yang kontroversial. Hal tersebut dapat diargumentasikan dengan semua sambungan pada hewan belum dewasa akan lebih lemah dibandingkan dengan hewan yang telah dewasa. 

Permasalahannya adalah saat menentukan kelemahan sendi normal pada anak hewan dan berapa besar kelemahan tersebut dapat untuk memulai mengubah model dan cartilago apabila dihubungkan dengan hip-dysplasia, kelemahan sendi yang parah secara khas dapat mengakibatkan pengembangan hip-dysplasia, namun sendi pinggul yang stabil pada umumnya dapat berkembang secara normal.

b.  Hormonal

Sejumlah hormon, mencakup estrogen, relaxin, growt hormon, hormon parathyroid dan insulin telah diselidiki potensinya yang menyebabkan atau menyokong faktor hip-dysplasia. Betina tidak boleh mengalami kelemahan sendi selama musim anestrus. 

Abnormalitas metabolisme estrogen pada manusia menyebabkan kelemahan sendi, dan estrogen diberikan kepada anak hewan dapat mempengaruhi hip-dysplasia, tetapi ukuran estrogen pada anak hewan dysplastic tidaklah lebih tinggi dibanding dengan anak hewan normal. 

Level relaxin yang ditingkatkan pada betina postpartum dengan hip-dysplasia dan relaxin yang diberikan pada anak hewan dapat mempengaruhi pengembangan hip-dysplasia.

c.  Nutrisi dan Pertumbuhan Cepat

Overfeeding (pemberian pakan berlebih )dengan cepat akan memacu pertumbuhan, hewan keturunan besar dapat meningkatkan keparahan dan frekwensi hip-dysplasia. 

Diet paling komersial pada hewan adalah dalam kaitannya dengan seimbang vitamin, mineral, karbohidrat, dan kebutuhan serat dan protein. 

Overfeeding sendiri tidak menyebabkan hip-dysplasia, namun hal tersebut dapat memaksimalkan predisposisi genetic penyakit pada individu.

Overfeeding akan memaksimalkan keparahan osteoarthritis pada hewan yang mempunyai sejarah keturunan hip-dysplastic. 

Dari bukti yang paling kuat dapat disimpulkan pada peristiwa anak hewan labrador yang diberi makan suatu diet terbatas (75% dari konsumsi harian) telah dengan mantap menurunkan hip-dysplasia dan mengurangi tingkat keparahan osteoarthritis dibanding hewan yang menikmati akses makanan tak terbatas. 

Lebih lanjut, hewan yang diberikan diet terbatas telah dengan mantap mengurangi osteoarthritis pada pinggul mereka, bahu, dan stifles. 

Meskipun demikian hewan secara genetic akan tetap menurunkan hip-dysplastic walaupun telah diberikan diet terbatas, tetapi kemunculan phenotypic akan disembunyikan. 

Sehingga pembatasan berkenaan dengan aturan makan boleh saja diberikan, namun tidak akan mengurangi kepekaan gen pada keturunan mereka.

d.  Calsium

Calsium (Ca), sodium (Na), dan kalium (K) merupakan beberapa elektrolit utama sebagaimana berfungsi bagi banyak aktifitas biologi. elektrolit adalah molekul atau atom yang berfungsi baik negatif maupun positif.

Pertanyaan supplementasi kalsium (Ca) menjadi kontroversial bagi para breeder, namun sebaiknya kalsium ini jangan diberikan berlebihan. 

Ini bukan berarti menghilangkan kalsium diperlukan dari diet hewan, karena kalsium tidak hanya sebagai komponen skeletal penting, namun kalsium juga penting bagi elemen pembekuan darah, pelepasan hormonal dan kontraksi otot. 

Pada tiga sistem biologi (tulang, ginjal, dan usus) Calsium juga dilibatkan didalam mengendalikannya.

Hewan muda tidak mempunyai suatu mekanisme yang bersifat melindungi melawan terhadap kelebihan calsium, Diet berlebih akan meningkatkan jumlah calsium yang diserap dari gastrointestinal. 

Kalsium tinggi mengurangi aktivitas osteoclastic, menunda pengerasan endocondral dan perubahan bentuk skeletal, sehingga jumlah kalsium pada perbandingan calsium dengan fosfat (Ca:P) menjadi lebih penting.

e.  Vitamin D

Saat vitamin D ditingkatkan, penyerapan kalsium yang diserap dan penyerapan ginjal juga meningkat, kelebihan vitamin D mempunyai efek serupa dengan kelebihan kalsium. 

Kelebihan asupan kalsium dan vitamin D akan mendukung pengembangan pada individu yang mempunyai predisposisi genetik hip-dysplastic sehingga harus dihindarkan pada hewan muda yang mempunyai tingkat pertumbuhan sangat cepat.

f.  Vitamin C

Vitamin C diperlukan untuk mensintesis colagen, tetapi hewan tidak memerlukan dalam makanan. Ketika mereka mensintesis jumlah yang cukup. 

Pemberian vitamin C dosis tinggi pada betina hamil dan anak mereka sampai umur dua tahun dilaporkan dapat menekan hip-dysplasia. namun ketiadaan evaluasi radiografis, tindak lanjut, dan ketidakmampuan untuk mengembangkan hasil pada pengawasan percobaan klinis membuat hasil ini masih diragukan.

Studi lain menunjukkan kelebihan vitamin C pada anak hewan menyebabkan hypercalcimia dan akan menunda tulang mengubah bentuk dan cartilago waktu menjadi masak. 

Tidak ada bukti ilmiah bahwa melengkapi diet anak hewan dalam masa pertumbuhan dengan dosis vitamin C berlebih akan mencegah hip-dysplasia. Dan apabila praktek ini berpotensi berbahaya, haruslah dihentikan.

g.  Exercise/Latihan

Latihan belum menunjukan secara spesifik kontribusinya akan perkembangan hip-dysplasia, karena hal tersebut belum dipelajari secara intensif dibandingkan pengaruh dari nutrisi. 

Kemungkinan hip-dysplasia adalah suatu penyakit biokimia yang disebabkan oleh penekanan tulang rangka yang belum dewasa, sehingga latihan diduga akan mempercepat pengembangan dari perubahan kemunduran akan ketidakstabilan pinggul pada hewan. 

Namun disisilain latihan juga mungkin punya suatu efek bersifat melindungi dari kelebihan nutrisi dengan menurunkan jumlah energi yang tersedia untuk pertumbuhan dan mungkin juga meningkatkan kekuatan otot. Untuk itu riset lebih lanjut diperlukan untuk menjawab permasalahan ini.

Dan Pierrmattei, et al., (2006) menambahkan, hal-hal yang mendukung kejadian hip dysplasia seperti otot pelvis yang terlalu kecil dari normal, porposi antara massa otot dan pertumbuhan tulang yang kurang proporsional, pada gen tertentu tulang akan terlihat normal namun kartilago memiliki kelainan pertumbuhan dan kemudian diperparah dengan jaringan ikat dan otot yang ada disekitarnya.

Patogenesis Hip dysplasia

Kelemahan atau pergeseran sendi pinggul, adalah ciri khas yang konstan pada kasus hip dysplasia. Korelasi langsung antara pergeseran pasif dan perkembangan osteoarthritis pernah dilaporkan. 

Mekanisme penurunan penyakit di konsistensikan atau dihubungkan pada cabang phylogeni (ekspresi phylogeni dipengaruhi sebab genetik dan non-genetik), dengan estimasi bervariasi dengan nilai heritabilitas berkisar 0,2-0,6, tergantung pada populasi yang telah dipelajari. 

Faktor non-genetik yang dapat berperan pada kejadian penyakit yaitu ukuran tubuh, rataan pertumbuhan (growt rate), exercise, dan massa otot. 

Penyebab hip dysplasia dapat terjadi multifactor, baik herediter (turunan0 atau factor lingkungan, keduanya memainkan peran pada pembentukan abnormal pada tulang dan jaringan lunak. 

Namun factor herediter adalah fator yang paling mempengaruhi. Pertumbuhan dan peningkatan berat badan yang cepat melalui asupan nutrisi berlebih, dapat menyebabkan kelainan pembentukan jaringan lunak, dan menyebabkan hip dysplasia. 

Faktor yang menyebabkan peradangan synovial (seperti trauma berulang) juga menjadi hal penting. 

Synovitis mengakibatkan peningkatan volume cairan sendi, saat sendi kehilangan kestabilannya, sebuah derivat dihasilkan dari aksi seperti pompa isap dan menghasilkan lapisan tebal dari cairan synovial normal antara permukaan artikuler.  

Faktor ini berkontribusi pada perkembangan kelemahan sendi pinggul dan mengakibatkan subluksasi, dan bertanggung jawab pada tanda klinis awal, dan perubahan sendi. 

Peregangan subluksasi pada kapsula fibrosa sendi, menyebabkan nyeri dan kepincangan. 

Tulang acetabula kemudian dengan mudah mngalami deformasi oleh proses berkesinambungan subluksasi caput femur. 

Aksi yang mneyerupai piston pada caput femoris, mensubluksasi secara dinamis  dari acetabutlum dengan setiap langkah yang mengakibatkan kemiringan permukaan artikuler acetabulum dari bidang horizontal normal ke bidang yang lebih vertical. 

Hal ini juga mengurangi area permukaan dari artikulasi (persendian), saat tekanan berat tubuh melebihi bagian kecil pada sendi pinggul. Fraktur tulang acetabula dapat terjadi dan memperparah nyeri dan kepincangan. 

Respon fisiologi pada subluksasi sendi adalah munculnya sel-sel fibroplasia proliferative pada kapsula sendi dan meningkatkan ketebalan tulang trabekula. Namun area permukaan sendi masih mengalami reduksi, dan mengakibatkan persendian lebih awal dilapisi jaringan kartilago, dan mengakibatkan nyeri subkhondral dan kepincangan,

Kucing atau anjing dengan predesposisi genetic hip dysplasia menunjukan gejala normal. Namun selama pertumbuhan, terjadi kegagalan kesesuaian antara permukaan artikuler dari acetabulum dan caput femoris  Ketidaksesuaian ini mengakibatkan terjadinya pembentukan osteoarthritis. 

Khususnya, pada 2 bulan pertama sejak lahir, terjadi pergeseran pada ligamentum teres, hilangnya kelenturan dari dorsal fossa acetabuli, dan subluksasi caput femoris. Peregangan lebih lanjut, pada kapsula sendi, dan subluksasi progesif mengakibatkan remodeling dari lingkar acetabula, degenerasi cartilago articularis, dan remodeling caput femoris. 

Acetabuli tidak terisi, remodeling caput femoris, dan penebalan colum femoris pada semua proses, terlihat secara radiografi pada umur 5 bulan. Saat itu, acetabulum menjadi lebih dangkal, dan caput femoris menjadi tidak serasi. Kemudian dengan cepat terjadi penebalan pada kapsula sendi yang mengakibatkan peningkatan stabilitas sendi.

Nyeri pada stadium awal diperkiraan akibat hasil dari peregangan kapsula sendi dan pembentukan mikrofraktur pada bagian lingkar dorsal acetabulum karena abnormalitas pengisian caput femoris. 

Pembentukan otot disekeliling tempat tersebut tertunda karena nyeri dan jeleknya pergerakan tempat sekitar (umur 9 bulan). Saat nyeri yang diakibatkan peregangan kapsuler berkurang atau berhenti, disana terjadi peningkatan stabilitas bertahap melalui perubahan intra dan periartikuler, terutama karena peningkatan penebalan kapsula sendi. 

Peningkatan bertahap pada massa otot biasanya diikuti dan diperbesar dengan peningkatan stabilitas sendi.

Sehingga pada saat otot rangka mengalami maturasi (sekitar umur 12-18 bulan), sendi pinggul akan terlihat stabil karena penebalan kapsular, peningkatan massa otot, dan pembentukan tulang. 

Meskipun kehilangan jarak gerak, banyak anjing dan kucing mampu menjalankan fungsi gerak khususnya, jika tidak dalam intensitas kerja yang tinggi. Dari poin ini, perubahan osteoarthritis biasanya berjalan lambat, tergantung pada berat tubuh dan seringnya hewan bergerak.

Menurut Piermattei, et al (2006) jenis prediposisi hip dysplasia di bagi menjadi 3 kategori :

a.  Ringan

Deviasi minimal dari normal dengan bidang datar yang ringan pada caput femur dan subluksasi minor

b.  Sedang

Deviasi nyata dari normal dengan pendangkalan acetabulum, pendataran caput femur, kesesuaian sendi jelek.

c.  Berat

Dislokasi komplit pada pinggul dan pendataran sendi yang parah pada caput femur dan acetabulum.

Dan berdasarkan persentase pergesarnya dinilai radiographikal dari 1-4 menurut derajat tingkat subluxation :
  1. Grade1 : mild dysplasia--50 % caput femoris masih berada didalam acetabulum
  2. Grade 2 : 30%
  3. Grade 3 : 10-20%
  4. Grade 4 : severe dysplasia --complete luxation dari caput femoris

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Klinis Sistem Musculoskeletal. Pemeriksaan klinik  hewan (Widodo, 2011) :

1.  Inspeksi /adspeksi  

hewan dalam posisi berdiri, hewan dalam kondisi tenang dan rileks (pemilik dilibatkan langsung) inspeksi dilakukan pada hewan bersangkutan, diamati  :
  1. Perbandingan tinggi kaki-kaki depan dan belakang, kiri dan kanan
  2. Kesimetrisan lekuk otot-otot antara kaki kiri dan kanan
  3. Tidak ada tremor atau mioklonia
  4. Ketegasan dan lekuk liku tulang yang miskin perototan

2.  Palpasi

Dalam pemeriksaan tulang-tulang perlu ditinjau apakah suatu deformitas terdapat secara umum pada semua tulang-tulang nya ataukah hanya bersifat lokal saja. 

Tulang-tulang diperiksa secara palpasi untuk mengetahui konformitas atau ketegasan, konsistensi dan kesimetrisan serta kehadiran deformitasnya. 

Deformitas tulang terdiri dari deformitas primer dan sekunder. Yang primer adalah deformitas congenital atau herediter seperti brakhignathia kongenital atau mandibula lebih pendek dari maxilla atua prognathia congenital atau  mandibula lebih panjang dari maxilla. Hal demikian sering dijumpai pada hewan ras brakhisefalik. 

Deformitas sekunder  adalah perubahan bentuk tulang secara didapat atau acquisatasebagai akibat dari penyakit primernya. Pada kejadian sekunder pada umumnya yang paling berubah pertama kali adalah tulang-tulang tengkorak. 

Pemeriksaan palpasi pada tulang-tulang panjang hewan muda, pada umumnya ditunjukkan untuk melihat adanya deformitas pertulangan (osssifikasi).  

Generasi tulang dapat gagal dalam masa pertumbuhan  embrional sampai dengan masa neonatorum menjadi bentuk tulang degenerasi.  

Keadaan demikian disebut sebagai rakhitisdan pada masa dewasa disebut osteomalacia. Tanda-tandanya adalah kurvatura mayor  tulang-tulang pipa yang abnormal kebengkakan persendian  dan salah bentuk  pada tulang-tulang panjangnya. 

Dari palpasi dapat diperiksa daerah epifisis dari tulang-tulang panjang tersebut melebar, persambungan costo-chondral tualng-tulang  iga membesar, sehingg tampak seakan-akan sebagai untaian tasbih. Sering terjadi pada rachitis hewan mengalami kepincangan dan kesakitan pada sendi-sendi tertentu. 

Pada keadaan ragu-ragu untuk meneguhkan diagnosis perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan rontgenologis. Kerapuhan tulang juga sering dijumpai pada  hewan yang sedang tumbuh. Hal ini dapat diawali dari kekurangan kalsium atau fosfor dalam pakan hewan tersebut.

Palpasi dan Manipulasi Sendi Pinggul (Uji Khusus Konfirmasi Hip dysplasia)

Pemeriksaan pinggul dilakukan dengan palpasi dengan hati-hati dan menyeluruh pada otot yang melingkari daerah pinggul. 

Terutama perhatikan otot gluteal, terhadap derajat keparahan atropinya yang kemungkinan besar ditandai dengan kondisi kronis yang berdampak pada pinggul. 

Palpasi pada alae atau sayap iliaca, trochanter mayor, dan ischiatik table akan sangat berguna untuk membedakan posisi relative dari caput femoris, khususnya pada kasus dimana terjadi luksasi coxofemoralis.

Sendi coxofemoralis sebaiknya digerakan untuk menaksir jarak pergerakan dan adanya bunyi krepitasi. 

Hal ini biasanya dilakukan pada hewan dalam posisi berdiri, namun pada hewan dengan kondisi gangguan orthopedic bilateral, dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi lateral recumbency. 

Pada hewan normal, jarak pergerakan ketika melakukan evaluasi gerak flexi dan ekstensinya, sekitar 160 derajat. Hewan dengan kondisi nyeri pada pinggulnya boleh melewati proses pergerakan ini. 

Hewan dengan kondisi hip dysplasia kronis, fibrosis periartikulernya menyebabkan jarak gerak yang terbatas, terutama saat melakukan gerak ekstensi (Houlton et al, 2006). 

Menurut Fossum, (2002) temuan fisik pada pasien dapat berupa nyeri saat ekstensi, rotasi eksternal, abduksi sendi pinggul, dan jeleknya perkembangan otot-otot pelvis.

Hal ini sangat penting untuk memperkirakan derajat kelemahan atau pergeseran pinggul, khususnya jika hewan sudah dicurigai mengalami hip dysplasia. 
Tes atau Uji spesifik yang dapat digunakan untuk mengevaluai derajat kelemahan sendi ini adalah dengan uji Ortolani, Barlow, dan Barden. 
Uji ini dapat dipakai pada hewan dalam keadaan sadar, namun hewan akan merasakan sakit atau nyeri dan karena itu sebaiknya uji ini dilakukan pada saat hewan mengalami sedasi berat atau dalam pengaruh anestesi umum. 

Kelemahan atau pergeseran sendi pinggul sebaiknya dievaluasi bersama dengan data klinis untuk mencegah intepretasi berlebihan.

Uji Ortolani

Suatu uji dengan memasukkan kaput femur ke acetabulum dengan melakukan abduksi pada kaki belakang (gerakan ke lateral).  Uji ini merupakan uji yang paling banyak digunakan untuk deteksi ketidakstabilan pinggul pada kucing dan anjing muda. Uji ini dapat dilakukan pada hewan dalam posisi lateral atau dorsal recumbency. 

Pada kucing atau anjing dengan posisi lateral recumbency, tahanan ini bisa dipegang dengan satu tangan saat tangan yang lain ditempatkan pada aspek dorsal dari pelvis untuk stabilisasi. 

Tekanan kuat dilakukan dari tahanan pada arah dorsal dalam usaha untuk menarik sendi. Selagi menjaga tekanan ini, tungkai kaki pelan-pelan diabduksi hingga terdengar bunyi “click” atau “clunk(benda jatuh/logam jatuh)” (yang berarti tanda ortolani positif). 

Suara “click” ini menggambarkan relokasi caput femoris dalam acetabulum. Pada hewan dengan tanda positif ortolani, sudut antara pangkal kaki belakang dan lantai pelvis (ketika diuji dalam posisi lateral recumbency) pada relokasi caput femoris terjadi, diistilahkan dengan sudut reduksi. 

Jika kaki belakang sekarang diadduksi, selagi tekanan dorsal dijaga, re-lukasasi pada pinggul akan terjadi. Sudut antara limb and table ketika dire-luksasi terjadi disebut dengan sudut re-luksasi atau sudut subluksasi.

Uji ortolani juga dapat dipakai untuk menaksir secara subjektif integritas pada lingkar dorsal acetabula. Jika lingkar dorsal acetabula bertaut utuh, caput femoris akan jatuh dengan tiba-tiba ke dalam acetabulum. 

Pada kucing atau anjing dengan kondisi acetabula yang jelek, maka caput femoris akan tergeser kembali. Adanya suara krepitasi disugestikan adanya perubahan osteoarthritis. 

Tanda ortolani biasanya hilang pada hewan dengan osteoarthritis yang parah karena perubahan patologis, sehingga terjadi pengurangan sensasi dari sublukasasi dan reduksi.



Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Uji Ortolani dan Barlow. (kanan) sudut reduksi, (kiri) sudut subluksasi (Sumber Piermattei, et al. 2006).

Uji Barlow

Uji barlow didefinisikan sebagai deteksi luksasi caput femur dengan usaha mengeluarkan kaput femur dari acetabulum dengan melakukan adduksi kaki hewan dan ibu jari pemeriksa diletakkan dilipatan paha. Positif bila saat mengeluarkan kaput femur, teraba kaputnya oleh ibu jari pemeriksa dan ada bunyi 'klik'.

Uji Barden

Dikenal juga dengan uji daya angkat pinggul. Paha dipegang dengan kuat selagi berdiri dibelakang hewan dan kemudian dilakukan pengangkatan kaki belakang secara lateral. Ini sangat berguna pada posisi tangan lain diatas region trochanter mayor dalam mendeteksi perpindahan lateral. 

Ketika trochanter mayot dapat berpindah secara lateral. 0,5 cm, maka hasil tes mengindikasikan positif, , uji ini dilakukan pada hewan dengan posisi lateral recumbency yaitu ibu jari diletakan di tuber ischia dan jari tengah berada di spina iliaca dorsal dan jari telunjuk diletakan di trochanter mayor, kemudian tangan yang satu mengangkat femur secara lateral, tarik caput femur keluar dari acetabulum. 

Teknik ini sangat baik dilakukan pada hewan kecil dengan tingkat akurasi sebesar 83 %.


Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Uji Barden (Sumber : Piermattei, et al. 2006).

Tanda Klinis

Tanda klinis yang berkaitan dengan hip dysplasia bervariasi bergantung pada umurnya. Tanda klinis yang terlihat pada kucing dibawah 1 tahun yang terkena hip dysplasia ditandai dengan ketidakstabilan gerak pinggul dan sinovytis sekunder. 

Sedangkan kucing yang lebih tua ditandai dengan osteoarthritis. Karena tingginya prevalensi antara anjing dan kucing, hip dysplasia cenderung sulit didiagnosis baik pada yang belum dewasa dan yang sudah dewasa.

1.  Hewan Muda

Tanda klinis menciri pada hewan muda (anjing, kucing) yang terkena hip dysplasia (umur 4-10 bulan),tanda yang terlihat meliputi salah satu atau beberapa tanda berikut :
  1. Kepincangan gerak pelvis dengan derajat yang bervariasi
  2. Telihat gerakan pelvis mengayun saat berjalan
  3. Saat berjalan cepat, terlihat seperti “kelinci melompat”
  4. Kelemahan gerak pinggul
  5. Enggan untuk bergerak
  6. Tidak sanggup atau tidak dapat melompat
  7. Hilangnya kekuatan atau kekakuan untuk berdiri

Kepincangan tiba-tiba jarang terjadi namun hal ini diduga berhubungan dengan fraktur kecil (microfracture) pada lingkar dorsal asetabuli atau dislokasi caput femoris pada kasus-kasus hilangnya kestabilan sendi coxofemoralis. 

Pemilik biasanya akan mendengar bunyi “jatuh/logam jatuh”. Pemeriksaan pada pelvis biasanya akan ditemukan atropi otot gluteal dalam derajat tertentu. 

Trochanter mayor biasanya sangat jelas teraba dan ketidakstabilan sendi pinggul kadang-kadang dapat terpalpasi jika tangan diletakan tepat di wilayah atau region trochanteris, ketika hewan sedang berjalan. 

Nyeri dapat terasa, khususnya jika sendi pinggul di coba untuk digerakan (ekstensi). Manipulasi sendi pinggul biasanya akan memperlihatkan ketidakstabilan dan pada banyak kasus, akan terasa ortolaninya positif. 

Palpasi untuk mengevaluasi kestabilan sendi pinggul dilakukan saat hewan berada dalam pengaruh sedasi berat atau anestesi umum.


Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Hubungan antara Hip dysplasia dengan umur hewan (Sumber : Slatter, 2003)

2.  Hewan Tua

Anjing atau kucing berusia lebih dari 2 bulan, dan mengalami osteoarthritis pinggul (hip osteoarthritis) tanda klinisnya akan terlihat samar, termasuk beberapa atau semua gejala berikut :
  1. Kesulitan berdiri
  2. Kekakuan sendi  pelvis (sering bertambah buruk setelah latihan)
  3. Exercise intolerance
  4. Perubahan perilaku (seperti tiba-tiba agresif ketika bagian kaki belakangnya disentuh)
  5. Kesulitan melompat
  6. Tiba-tiba pincang (jarang terjadi)

Reduksi rentang jarak gerak ekstensi pinggul biasanya terlihat dan ada suara kresipitasi (normalnya tidak terasa sakit) saat melakukan manipulasi pda pinggul. Atropi otot biasanya terjadi secara ringan. 

Nyeri pinggul saat melakukan ekstensi merupakan ciri utama, meski gerakan ini juga dapat memperburuk nyeri lumbal atau lumbosacara. 

Gerak abduksi pada pinggul juga dapat membantu membedakan hip dysplasia dengan penyakit degeneratif lumbosacral. 

Hal yang perlu diperhatikan adalah, gejala pincang tiba-tiba sangat jarang terjadi pada anjing atau kucing yang berusia lebih dari 12 bulan, sehingga sangat penting sekali untuk melakukan banding untuk membedakan hip dysplasia dengan penyakit yang lain.

Diagnosis

Radiografi

Penampakan VD dan Perhitungan Sudut Norberg-Olson

Radiografi merupkana metode standar untuk mendiagnosis hip dysplasia. Pengambilan gambar VD masih diterima sebagai posisi dan cukup untuk mendiagnosis hip dysplasia pada hewan yang menunjukan gejala tersebut. 

Posisi yang tepat adalah hal tepenting untuk mencegah rotasi pada pelvis. 

Radiograf diposisikan tepat pada daerah yang diperkirakan mengalami tanda-tanda kelemahan sendi (persentase caput femoris yang ditutupi dalam batasan lingkar dorsal acetabula atau derajat keparahan subluksasi, jarak pelebaran ruang sendi medial, Sudut Norberg-Olsson) dan tanda-tanda osteoarthritis, seperti perubahan ukuran pada tepi dorsal acetabula, pembentukan formasi tulang baru pada fossa acetabula, pada cradial, dan caudal tepi acetabula, dan caput dan colum (neck) femoris, dan derajat keparahan remodeling dari caput dan colum femoris.

Sudut Norberg-Olsson didefinisikan sebagai garis yang menghubungkan antara satu titik tengah caput femoris dan garis kedua dari titik tengah caput femoris yang lain pada efektivitas lingkar cranial acetabulinya. 

Apabila sudut yang terbentuk lebih kecil dari 105 derajat, diperkirakan sendi mengalami abnormalitas.

Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Sudut norberg-olson. (Sumber : Houlton, et al, 2006)






Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Sudut norberg-olson.

Pada hewan kecil, perubahan sekunder dapat terjadi secara kecil (minimal), dan  karena itu diagnosis hip dysplasia didasarkan semata-mata pada derajat subluksasi caput femoris. 

Hal ini diukur berdasarkan persentase penutupan caput femoris dalam batas ruang acetabulum. 

Pinggul dikatakan mengalami dysplasia jika titik tengah caput femoris berada disisi lateral lingkar dorsal acetabula (kurang dari 50% caput femoris tertutupi dalam batas lingkar acetabula). 

Sedikitnya pengaruh ini bisa membuat hewan tampak normal atau memperlihatkan kelemahan dengan derajat ringan saat evaluasi penampakan gambar VD akibat pengencangan-diri oleh kapsula sendi (wind-up mechanism) . 

Intepretasi radiografi juga harus dikombinasikan dengan sejarah penyakit, tanda klinis, dan hasil dari pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis yang akurat.

Keparahan perubahan sekunder sangat bervariasi pada anjing atau kucing yang mengalami hip dysplasia atau osteoarthritis. 

Mulai dari sedikitnya osteophyte dalam wilayah kapsula sendi dan colum femoris (garis Morgan atau curvalinier caudolateral osteophyte) hingga remodeling caput femoris, clum femoris, dan acecabulum, dan tanda-tanda osteophytosis. 

Dan perlu diingat bahwa sangat rendah korelasi antara derajat keparahan perubahan secara radiografi dengan tanda klinis. Banyak anjing yang menunjukan ciri-ciri radiografi hip dysplasia namun tidak menunukan tanda klinis.

Indeks Distraksi (gangguan/pergeseran)

Indeks distraksi adalah rasio untuk mengukur kuantitas pemindahan lateral pada caput femur dalam penampakan distraksi.  

Penampakan distraksi adalah penampakan radiograf ventrodorsal yang diperluas sehingga pergeseran caput femur kelateral dapat diketahui. 

Dengan teknik ini, pasien akan disedasi atau di anestesi terlebih dahulu dan diposisikan dalam posisi dorsal recumbency, lalu operator menekan tahanan yang melintasi tumpuan alat yang ditempatkan antara femur tepat kearah ventral pelvis. 

Posisi kaki untuk penampakan distraksi sekitar 80 derajat dari bagian atas meja. 3 gambar radiograf akan didapat, penampakan ventrodorsal, penampakan kompresi, dan penampakan distraksi. 

Nilai jarak indeks distraksi berkisar antara 0-1. 0 menandakan kesesuaian yang sempurna antara caput femur dan acetabulum dan 1 menandakan terajdinya luksasi komplit.

Indeks dugaan luksasi, diidentikan dengan indeks distraksi (Distraction Index/DI). Indek didefinisikan sebagai jarak (d) titik tengah caput femur (Femur Head Center/FHC) dari titik tengah acetabula (Acetabular center/AC) dibagi dengan jari-jari (r) dari caput femur (DI = d/r).




 

Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Pengambilan radiograf





Hip Joint Dysplasia pada Hewan
perhitungan indeks distraksi. (Sumber : Slatter, 2003)

Penampakan Dorsoventral dan Sudut Lingkar Dorsal Acetabuli

Untuk meningkatkan akurasi diagnosis pada hewan muda, ditambahlah gambar radiograf khusus. 

Penampakan lingkar dorsal acetabuli adalah satu teknik yang direkomendasikan dengan melihat langsung gangguan acetabulum untuk dugaan terjadinya hip disyplasia dini, dan kelemahan sendi, ketika terjadi ttekanan kuat pada lokasi ini. 

Pada teknik ini, hewan dianestesi dan diposisikan dengan sternal recumbency dengan pangkal paha di tarik ke arah cranial pada sisi thorak, dan ditahan melawan tubuh pada bidang dorsoventralnya. 

Posisi ini memungkinkan sinar radiografi langsung mengenai garis longitudinal axis dari pelvis. Radiograf akan menunjukan ketidaksesesuaian  sendi, ukuran lingkar dorsal acetabuli, sudut lingkar dorsal asetabuli, dan tejadinya remodeling (sklerosis). 

Hewan normal memilki sudut lingkar dorsal sekitar 7.5 derajat atau kurang, jika sudut lebih besar dari 20 derajat, hal ini dapat mengindasikan terjadinya hip dysplasia. 

Sudut lingkar acetabuli ini digunakan untuk memperkirakan derajat rotasi yang memungkinkan untuk penanganan triple pelvis osteotomy.

Untuk menghitung skor sublukasi dorsolateral, sebuah garis lurus ditarik dari garis tepi lateral acetabuli cranial. Lalu tarik garis tegak lurus dari garis sebelumnya pada tepi medial caput femoris dan dari batas lateral dari acetabulum cranial. 

Jarak antara 2 garis tegak lurus ini, diukur dalam satuan milimeter (d) dan skor subluksasi dorsolateral (persentase caput femur medial terhadap lingkar cranial acetabuli), digambarkan dengan membagi d dengan panjang diameter (mm) dari caput femur (0) dari pinggul yang sama (skor subluksasi dorsolateral = d/0 x 100%).



 

Hip Joint Dysplasia pada Hewan
pengambilan radiograf (Sumber :Slatter, 2003


Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Penghitungan sudut (Sumber :Slatter, 2003)

Ultrasonografi

Ultrasonografi dapat digunakan pada deteksi dini pada hewan yang mengalami hip dysplasia ringan sampai berat tapi tidak begitu dapat diandalkan jika dibandingkan dengan metode radiografi untuk mengevaluasi kelemahan pinggul.

Kimia Klinis

Saat system muskuloskeletal mengalami kerusakan beberapa tanda kimia klinis yang diperkirakan meningkat adalah :

Tabel 1. Kimia Klinis Hip dysplasia
No
Peningkatan Kimia
Indikasi
1
Kalium/Potassium
Kerusakan jaringan diberbagai tempat seperti trauma otot secara masif
2
Fosfor
Osteolysis
3
Laktat dehydrogenase (LDH)
Kerusakan otot, organ atau jaringan, ginjal, atau hemolysis
4
Creatine Kinase (CK)
Peradangan pada Otot
5
Kreatinin
Penurunan massa otot, dan Azotemia
6.
AST/SGPOT
Cidera otot yang parah
7
Kalsium
Osteolysis, Rhabdomyolisis, osteoma


Diferensial diagnosis

Differensial diagnosis hip dysplasia :

1.  Pada kucing atau anjing muda

  • Luksasi patella
  • Atrhritis sepsis
  • Gangguan saraf tepi (spinalis)
  • Myopati
  • Osteochondrosis
  • Cranial cruciate ligament disease

2.  Pada Kucing dan Anjing tua

  • Luksasi patella
  • Arthritis sepsis
  • Gangguan saraf tepi lain
  • Lumbosacral stenosis degenerative
  • Tendinopathy achiles
  • Cranial cruciate ligament disease

Manajemen Terapi

Tujuan terapi apapun diarahkan untuk mengurangi nyeri, menjaga atau memperbaiki fungsi kaki dan mengurangi progresi dari osteoarthritis. 

Keputusan seperti pada penangan konservatif atau bedah di tentukan oleh status individual, seperti tingkat keparahan dari tanda klinis, umur, sifat pasien, dan kepedulian pemilik.

Management konservatif

Managemen konservatif ditandai pada semua anjing atau kucing dengan tanda klinis yang ringan, tanpa memperhatikan umur, dan sebaiknya selalu dipertimbangkan pada pengobatan pertamanya. 

Managemen konservatif dapat menghasilkan kepuasan jangka panjang. Pada studi jangka panjang, diatur hewan dengan derajat sedang hingga parah tanda klinis dan radiograf hip dysplasianya. 76 % hewan menunjukan tanda minimal atau tanpa tanda-tanda abnormal ketika berjalan meskipun dalam gamabaran radiografinya perjadi perubahan osteoarthritis sekunder.

Pada hewan muda dengan nyeri pinggul yang tidak stabil, hal yang dilakukan adalah mengurangi tingkat nyerinya dan meningkatkan stabilitas tulang pinggul. hip dysplasia yang parah biasanya ditandai dengan menurunnya stabilitas pada pinggul (akibat pembentukan fibrosis periartikuler dan peningkatan massa otot). 

Pada hewan dewasa dengan hip dysplasia dan osteoarhtitis sekunder, hal yang dilakukan adalah mengontrol osteoarthritis berkaitan dengan tanda klinis yang muncul. 

Menurut Johnson & Dianne, kesembuhan hip dysplasia dapat mencapai rata-rata 50% dengan reduksi tertutup, sedangkan dengan  80-90% dengan reduksi terbuka, jika integritas sendi terambung kembali, dengan prognosis jangka panjang baik hingga baik sekali. 

Sedangkan menurut Fossum, (2002) reduksi tertutup pada sendi yang mengalami luksasi atau dysplasia umumnya lebih disukai dari pada reduksi terbuka (bedah) karena kemungkinan kecil terjadi kontaminasi, mengurangi kerusakan jaringan lunak, dan proses kesembuhan lebih cepat. 

Namun pada kasus dysplasia kongenital, reduksi tertutup memiliki presentasi kesembuhan lebih kecil dibandingkan reduksi terbuka, dan indikasi lain seperti fraktur atau kelainan posisi jaringan yang sangat signifikan.

Proses kesembuhan jaringan sendi dan kartilago dimulai dari hilangnya proteoglikan dari matrik saat terjadi infeksi, inflamasi, dan immobilisasi sendi akibat pembedahan atau akibat gangguan traumatis pada membrane synovial. 

Dengan kerusakan reversibel, kondrosit menggantikan komponen matriks yang hilang setelah kerusakan di hilangkan. 

Namun kerusakan iireversibel dapat terjadi. Laserasi atau abrasi pada permukaan jaringan kartilago sendi merusak kondrosit dan menggangu pemulihan jaringan matrik. 

Standar respons inflamasi tidak dapat terjadi pada permukaan superficial laserasi (karena disana tidak terdapat penetrasi pada jaringan tulang rawan/subchondral bone) karena sel-sel inflamasi dari sumsum tulang dan pembuluh darah tidak dapat mencapai sendi. 

Sel kondrosit yang dekat dengan kerusakan direspon oleh matriks baru yang terus berproliferasi dan bersintesis, namun respons ini biasanya tidak cukup mengakibatkan kesembuhan.

Walau laserasi suferfisial tidak tersembuhkan, namun mereka mempunyai proses tersendiri. Ketika jaringan kartilago mengalami penebalan penuh, sel-sel sumsum tulang mampu berpartisipasi pada respons inflamasi untuk meningkatkan akses pada wilayah yang mengalami kerusakan. 

Ukuran kerusakan juga mempengaruhi aktivitas kesembuhan, kerusakan kecil (diameter 1 mm) akan lebih cepat dari pada keruskan yang lebih besar. Kerusakan awalnya akan terisi gumpalan fibrin, dan digantikan dalam waktu 5 hari oleh sel seperti fibroblast dan serat kolagen. 

Metaplasia sel seperti fibroblast pada kondrosit terjadi setelah 2 minggu. Kondrosit ini belum berfungsi normal, dan diindikasikan dengan proteoglikan dengan konsentrasi rendah pada jaringan yang mengalami reparasi 6 bulan pasca cidera. 

Jaringan reparative (fibrocartilago) juga akan lebih tebal dari jaringan kartilago articular dan mengalami fibrilasi dan perubahan erosive.



Hip Joint Dysplasia pada Hewan
Proses Penyembuhan kartilago. Proses kesembuhan laserasi suferfisial (A) dan laserasi yang lebih dalam (B) pada kartilago artikuler (Sumber : Fossum, 2002).

Management konservatif dibagi menjadi 3 aspek, regulasi berat badan dan manajemen pakan, melatih pola gerak, dan penggunaan agen terapuetik. Ketiga aspek ini sebainya dilakukan secara simultan agar hasilnya semakin baik.

 Managemen pakan

Kontrol pakan tidak boleh dilakukan terlalu berlebihan. Nutrisi berlebihan   dapat meningkatkan ekspresi fenotipik ada hewan yang terkena hip dyslplasia. 

Pada sebuah studi, factor predisposisi dari hewan yang terkena hip dysplasia, pertumbuhan hewan yang pakanya dibatasi, hasil radiografi menunjukan 50% tidak terdapat tanda osteoarthritis dari pada yang terus diberikan pakan secara ad libitum.

Hewan muda yang mederita hip dysplasia, asupan pakanya harus dibatasi. 

Beberapa strategi yang dianjurkan seperti mengurangi asupan pakan (dengan membatasi ukuran porsi pakan, dan waktu makanya) atau mengganti pakan dari formula pertumbuhan ke formula dewasa sebanyak 80%. 

Dapat dipastikan tubuh hewan menajdi kurus, sehingga harus diawasi teru-menerus, dan penilaian kritis kondisi tubuh harus disampaikan pada klien dengan baik. 

Kontrol berat badan sender telah menunjukan beberapa keuntungan dalam mengurangi kepincangan pada hewan dewasa dengan gejala osteoarthritis hingga hip dysplasia. 

Asupan kalori sebainya diimbangi dengan kondisi metaboliknya dan hal ini dapat mencapai kesuksesan dengan kombinasi pengurangan asupan makanan dan meningkatkan tingkat latihanya jika memungkinkan.

Menurut Tuzio, et al (2004) pada kucing yang mengalami obesitas, diperlukan perubahan kebiasaan pada hewan dan pemilik. Klien harus didukung untuk menunjukan kecintaan pada kucinnya dengan memberi perhatian positif, bukan makanan. 

Jumlah pakan sebaiknya dikalkulasi dan diukur untuk mencegah makan berlebih. Ada 2 hal yang berbedal pada keperluan energy pada kucing aktif dan kucing yang sering diam. 

Asupan pakan harus dibiasakan sesuai keperluan tingkat aktivitas kucing untuk menjaga kondisi tubuh yang optimal. 

Kalkulasi keperluan energy harian atau Daily Energy Requirement (DER) untuk setiap kucing didasarkan pada gaya hidup untuk mengasilkan kuantitas pakan yang akurat. 

DER adalah perkalian anatara kebutuhan energy saat istirahat atau Resting Energy requirement (RER) di mana RER (kcal) = 70 x (berat badan/kg)0,75 umumnya dipakai dalam perkalian RER untuk kucing dewasa. 

Kucing obesitas, khususnya jika sering diam, sering dibutukan sedikitnya 0,8 X RER atau 40 kcal/kg pada berat tubuh ideal untuk menghasilkan pengurangan berat badan sebesar 1% per minggu. Penurunan berat badan sebaiknya di pantau setiap 2-3 minggu.

Tabel 2. Perhitungan umum RER yang dapat digunakan pada kucing dewasa
Pola Kucing
Kebutuhan kalori
Kucing dengan pola biasa
(1.2 x RER) atau 60 kcal/kg
Kucing aktif
(1.4-1.6 x RER) atau 70-80 kcal/kg
Kucing yang tidak aktif
0.8-1.2 x RER) atau 40-60 kcal/kg
Kucing obesitas
0.8-1.0 x RER) atau 40-50 kcal/kg
(Sumber : Tuzio, et al. 2004)

Melatih pola gerak

Ketika bergerak, hal terbaik yang mungkin dilakukan adalah tetap menjaga stadium nyeri akutnya seminimal mungkin, karena itu dapat memperburuk tanda klinsinya, dan hal ini juga dapat merperbaiki dan meningkatkan fungsi jangka panjang. 

Efek yang menguntungkan manajemen latihan dari osteoarthritis ini telah diakui dengan baik. 

Latihan gerak meningkatkan jarak gerak, menstimulasi metabolism kartilago, memperkuat otot dan ligamentum, meningkatkan stabilitas sendi, dan mengurangi nilai nyerinya. Jika latihan berat ingin dihindari (seperti berburu bola, melompat, dan lainya), latihan yang lebih ringan seperti lari-lari ringan, dan berenang, biasanya juga berguna.

Latihan gerak ini sebaiknya juga menyesuaikan dengan individu hewan, dan stadium penyakitnya. 

Pada hewan muda, intensitasnya latihan dapat dilakukan secara wajar dan perlahan-lahan, seperti berenang. Hal ini direkomendasikan, karena dapat membentuk otot yang ada disekitar pinggul dan juga berkontribusi dalam meningkatkan stabilitasnya. 

Peningkatan latihan berkala juga harus diperkirakan berdasarkan respons klinis. 

Pada hewan dewasa yang mengalami osteoarthritis, latihan gerak sebaiknya diarahkan langsung pada mobilitas gerak hewan tersebut pada level yang dapat diterima (untuk hewan dan pemiliknya) tanpa memperburuk kemunculan tanda klinisnya. 

Latihan gerak ringan dan sering biasanya lebih baik dari sesi yang panjang, dan ini dapat meningkatkan dan memodifikasi stadium klinis penyakit perlahan-lahan.

Agen Terapuetik

Penggunanan subtansi farmakologis pada terapi hip dysplasia memiliki dampak yang baik. Tujuan penggunaan obat-obatan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup hewan secara keseluruhan. 

Antiinflamasi non steroid (NSAIDs) adalah obat utama dalam terapi farmakologis.  

Anti inflamasi non steroid (NSAIDs) adalah obat yang sering direkomendasikan karena memiliki efek antiinflamatori dan analgesic. Aksi primer pada NSAIDs bersifat reversibel menghambat siklooksigenase, mencegah sintesis prostaglandin yang bertanggung jawab pada proses nyeri dan radang. 

Hambatan selektif ini pada dua bentuk sikloosigenase yaitu siklooksigenase 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan hal ini menjelaskan beberapa perbedaan pada aspek efikasi (kemujaraban) obat dan toksistasnya diantara agen NSAID yang tersedia. 

Keistimewaan hambatan COX-2 dengan kerja COX-1dari NSAID berhubungan dengan peningkatan control inflamasi dan menurunkan potensial iritasi dan ulserasi pada lambung (gastrik) atau toksisitas renal (ginjal). 

Fungsi ginjal sebaiknya diperiksa sebelum meresepkan obat NSAID apapun, setelah 7 hari terapi, dan sekurang-kurangnya setiap 6 bulan selama pemberian obat pada kasus-kasus kronis. 

Pemilik sebaiknya juga di instrusikan untuk memantau ketidakstabilan, vomit (muntah) atau melena, yang dapat menadakan toksisitas gastrointestinal. 

Karena respon klinis pada setiap NSAID bervariasi antara hewan, maka pergantian obat dipertimbangkan untuk membedakan dengan satu yang paling efektif. 

Ketika mengganti dari obat NSAID satu ke NSAID yang lain, sekurang-kurangnya sudah keluar dari periode 3 hari tanpa pemberian NSAID dianjurkan untuk mencegah toksisitas. Pada hewan yang tidak toleran NSAID dan membutuhkan analgesi lebih lanjut, tramandol oral (2-5 mg/kg q8-12 jam) dapat menjadi solusi lebih lanjut.

Pada fase akut, baik pada hewan muda, dan tua, diperkirakan lebih baik jika medikasi diperpanjang (sekitar 3-4 minggu). 

Secara keseluruhan, situasi sebaiknya dipantau dan rekomendasi lebih lanjut sebaiknya di analisa dan dicatat respons klinisnya. 

Beberapa hewan memerlukan terapi berkelanjutan (countinous therapy), namun beberapa hewan memerlukan terapi yang intermitten (berkala), tergantung pada keparahan tanda klinis dan latihan fisiknya.

Penggunaan obat-obat nutrikal masih sedikit kontroversial, sehingga data-data objektif diperlukan sebelum merekomnedasikan produk obat yang dipakai berdasarkan aspek umumnya. Obat-obat ini meliputi :

a.  Glukosamin

Glukomasim adalah gula amnino (glikoprotein) esensial alami yang perlukan untuk pertumbuhan dan memperbaiki sendi dan kartilago artikuler, dimana dalam kedaan normal glukosamin berperan sebagai matrik ektraeluler dan cairan synovial. 

Dalam sebuah studi, 90% glukosamin sulfat oral diabrsobsi dari saluran pencernaan, namun disini ada beberapa variasi pada spesies tertentu. Banyak jaringan dalam tubuh, termasuk kartilago artikuler, mengambil glukosamin dari cairan plasma. Namun saat ini aksi kerja glukosamin masih diperdebatkan. 

Dalam studi in vitro diketahui glukosamin merangsang pembentukan efek anti-inflamatory dan stimulatori sel, namun hasilnya tidak selalu sama pada setiap hewan. 

Menurut Piermattei, et al (2006), glukosamin berkerja dengan meningkatkan stimulus dan material dasar untuk sintesis glikosaminoglikan dan menurunkan stromelisin pada asam ribonukleat (RNA) di sel kondrosit. Dosis 22 mg/kg secara oral (Morgan, 2008) dan injeksi 1 mg/kg (Piermattei, et al., 2006)

b.  Chondroitin sulfat (CS)

Khondroitin sulfat adalah glycosaminoglycan yang merupakan komponen normal pada proteoglikan mayor pada kartilago artikuler. 

Studi pada manusia dan tikus menunjukan hanya sejumlah kecil khondroitin sulfat oral yang diserap di usus. 

Bioavibilitas absolut khondroitin sulfat dikalkulasikan sekitar 13,2 % dari jumlah yang di cerna. 

Pada percobaan efek in vitro dan in vivo, khondroitin sulfat memiliki efek anti-inflamatori (menngurangi infiltrasi makrofag dan netrofil pada jaringan lunak), dan stimulasi hyaluronan sintesis. 

Sedangkan Piermattei et al (2006), melaporkan kondroitin sulfat dapat menstimulasi sintesis glikosaminoglikan dan proteoglikan dan secara kompetitif menghambat enzim degradatif pada kartilago dan synovium. Dosis pakai 8.8 mg/kg per oral.

c.  Asam lemak esensial (seperti asam elcosapentoic/EPA)

Asam lemak esensial merupakan grup asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acids/PUFAs).

2 prinsip penting asam lemak esensial yaitu asam linoleat dan asam alfa linolenik. Anotasi n menunjukan posisi pertama pada ikatan ganda rantai karbon, di hitung dari methyl end.

Asam arikidonat, asam lemak n-6, dan eikosapentaenoik (EPA) dan docosaheksanoik (DHA), asam lemak n-3, bisa menjadi derivate dari asam linoleat dan asam alfa linolenat, masing-masing  lewat proses desaturasi dan elongasi. 

Asam lemak esensial normalnya sebagai komponen dari membrane sel dan transpot lipid, dan sebagai precursor untuk meregulasi proses inflamasi. 

Pada studi in vitro pada kartilago manusia dan sapi, suplementasi asam lemak esensial dapat membatalkan proses inflamatori dan respon degradatif matriks yang diperoleh dari khondrosit, dan secara spesifik menurunkan regulasi aktivitas aggrecanasi.

d.  Ekstrak tumerik

Kurkuma dalam tumerik telah diusulkan sebagai fitokemikal yang berguna untuk degenerasi sendi. 

Kurkuma dapat bertindak sebagai pemblok factor transkripsi, factor nuclear kappa-B pada studi in vitro, dan membatalkan mekanisme degradasi sitokin termediasi pada katrilago.

e.  Methysulphonylmethane (MSM)

f.  Ekstrak green-lipped mussel

g.  Kombinasi produk

Suplemen nutrisi mayor yang dijual untuk kepentingan hewan dan dberupa kombinasi produk yang terdiri dari glukosamin dan khondroitin sulfat, dan bahan-bahan lainya (seperti metilsulfonilmetan, tumerik, mangan askorbat).

Menurut Houlton et al, 2006) selain 3 hal diatas hal yang tidak kalah pentingnya dalam memanajemen kesembuhan hip dysplasia ialah :
  1. Stadium penyakit dan edukasi klien
  2. Pengurangan berat badan jika hewan mengalami obesitas
  3. Mengatur ulang latihan geraknya

Tindakan ekstra yang dapat meringankan nyeri dan ketidaknyamanan hewan dengan aplikasi dingan dan panas. Bantalan dingin dapat diberikan selama 5-10 menit dalam 24 jam pertama, dan diganti lagi dengan kompres hangat selama 5-10 menit pada 2-4 hari berikutnya (Slatter, 2003)
  1. Dapat dilakukan fisioterapi atau hidroterapi
  2. Dipertimbangkan manajemen pakan atau suplemnetasi nutrisinya
  3. Penggunaan obat-obatan analgesic
  4. Pemantauan respons dan perubahan adaptasi
  5. Diertimbangkan dilakukan pembedahan jika manajemen diatas gagal.
Tabel 3. Protokol Rehabilitasi osteoarthritis sendi pinggul

Semua treatment (4x sehari)
Kepincangan
(skor 5/5)
Kepincangan
(skor 4/5)
Kepincangan
(skor 3/5)
Kepincangan
(skor 2/5)
Kepincangan
(skor 1/5)
Kepincangan
(skor 0/5)
Terapi panas
10 menit
10 menit
10 menit
10 menit
10 menit
10 menit
Pijat/ massage
5 menit
5 menit
5 menit
5 menit
5 menit
5 menit
Gerakan pasif (repetisi)
15
15
15
15
15
15
Stimulasi elektrik
10 menit
10 menit
10 menit
10 menit


Terapi Waktu latih-total waktu
5 menit
10 menit
15 menit
15 menit
20 menit
20 menit
Jalan/land treadmill
5 menit
10 menit
15 menit
20 menit
20 menit
20 menit
- keseimbangan
+
+
+
+
+

- rintangan
+
+
+
+
+
+
- Weaving
+
+
+
+
+
+
-berputar



+
+
+
-menaiki bukit




+
+
-menaiki tangga





+
-lari





+
Underwater treadmill
5 menit
10 menit
15 menit
20 menit
20 menit
20 menit
Berenang




5-10 menit
5-10 menit
cryoterapi
15 menit
15 menit
15 menit
15 menit
15 menit
15 menit
(Sumber : Fossum, 2002)

Kesimpulan

Diperlukan anamnesa, pemeriksaan dan pengamatan fisik, dan radiografi  yang tepat dan mumpuni untuk menunjang ketepatan diagnosis penyakit ini. 

Umumnya hip dysplasia terjadi secara herediter, sehingga akan baik sekali jika hewan memiliki catatan garis silsilah untuk keperluan diagnosis dan pencegahan. 

Hewan yang terkena hip dysplasia dianjurkan untuk dikawinkan atau dibreeding dengan dengan kondisi yang sehat, dan tidak memiliki catatan terkena hip dysplasia sebelumnya, atau induknya. 

Umumnya hip dysplasia dapat ditangani dengan 2 metode, terbuka (pembedahan) dan tertutup. 

Dari hasil penanganan kasus hip dysplasia, penanganan tertutup juga memiliki kesembuhan yang baik jika dibandingkan dengan metode pembedahan. 

Sehingga dilapangan nanti pemberian agen terpuetik (glukosamin, chondroitin, NSAID, vitamin dan lainya) pengaturan pola makan, dan latihan dapat diaplikasikan untuk penanganan hip dysplasia.


Referensi 

Anonim. 2012. http://www.offa.org/hd_procedures.html. Diakses pada 21 September 2015

Ardana IBK, & Willyanto I. 2010. Buku Ajar Patologi Klinik Veteriner. Universitas Udayana. Denpasar.

Bishop Y. 2005. The Veterinary Formulary 6th Edition. Pharmacetuical Press. Great Britain.

Day M, Mackin A, & Littlewood J. 2000. BSAVA Manual of Canine and Feline Haematology and Transfusion Medicine. Waterwells. England

Eldredge DM, Carlson DG, Carlson LD, & Giffin JM. 2008. Cat Owner’s Home Veterinary Handbook Third Edition. Wiley Publisihing inc. New Jersey

Ettinger SJ, & Feldman EC. 2002.  Textbook of Veterinary Internal Medicine Volume 1 Sixth Edition. Elsivier Sauders Publisher. Missouri. USA

Fossum, TW. 2002. Small Animal Surgery 3rd Edition. Elsivier Mosby. China

Houlton JEF, Cook JL, Innes JF, Hobbs SJL, & Brown G. 2006. BSAVA Manual of Canine and Feline Musculoskeletal Disorders. Gloucester. England

Johnson AI & Dunning D. 2005. Orthopedic Surgical Procedures of the Dog and Cat. Elsivier Saunders Publishing. Missouri. USA

Morgan, RV. 2008. Handbook of Small Animal Practice. Elsivier Saunders Publihsher. Missouri. United States America.

Nelson RW, & Couto CG. 2009. Small Animal Internal Medicine 4th Edition. Elsivier Mosby Publishing. Missouri. USA

Plumb, DC. 2005. Plumb’s Veterinary Drug Handbook : Fifth Edition. PharmaVet.Inc Stockholm, Wisconsin. United States of America

Piermattei D, Flo G, & DeCamp C. 2006. Handbook of Small Animal orthopedics and Fracture Repairs 4th Edition. Elsivier Saunders Publisher. Missouri.

Slatter, Douglas. 2003. Textbook of Small Animal Surgery 3rd Edition. Elsivier Saunders Publishing. Philadelphia. USA

Tuzio H, Elston T, Richards J, Jarboe L, Kudrak S. 2004. Feline Beharvior Guidelines. American Association of Feline Practioners. Philadelphia.

Widodo S, Sajuthi D, Chusnul C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. IPB Press. Bogor.

Hip Joint Dysplasia pada Hewan Hip Joint Dysplasia pada Hewan Reviewed by kangmaruf on 1:49 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.